Campak dan kelaparan di Asmat: ke mana APBD triliunan?

Campak dan kelaparan di Asmat: ke mana APBD triliunan?
Campak dan kelaparan di Asmat: ke mana APBD triliunan?
Asmat Hak atas foto Antara/Reuters Image caption Seorang anak kekurangan gizi menjalani perawatan di RSUD Agats, satu-satunya rumah sakit di Kabupaten Asmat.

Ribuan anak dilaporkan kekurangan gizi dan terpapar campak di Kabupaten Asmat, Papua, dalam empat bulan terakhir, sementara setidaknya lebih dari 60 anak lainnya telah meninggal dalam kejadian luar biasa (KLB) itu.

Anak-anak di Asmat kekurangan gizi, meski anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) kabupaten itu mencapai lebih dari Rp1 triliun pada 2017 dan mendapat jatah sekitar Rp106 miliar dari dana otonomi khusus Papua.

Walau mengelola anggaran triliunan rupiah, Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut masyarakat di sejumlah kabupaten dan kota tidak mendapatkan fasilitas dasar memadai, salah satunya di sektor kesehatan.

"Sudah terjadi bertahun-tahun dan di mana-mana di Papua. Jangankan Asmat, tempat asal saya (Tolikara), daerahnya masih terbelakang. Ini bukan hal baru," kata Enembe di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/01) lalu.

Dosen Ilmu Politik Universitas Cendrawasih, Marinus Maung, menilai penggunaan APBD di Papua tidak efektif dan tidak tepat sasaran karena persaingan politik pada pemilihan kepala daerah tidak berkesudahan.

Dalam penelitiannya di beberapa kabupaten, kata Marinus, kepala daerah terpilih membatasi atau menghapus anggaran pelayanan publik, termasuk kesehatan, untuk daerah atau kelompok masyarakat yang menjadi basis lawan politik.

"Politik anggaran semacam itu mendominasi kabupaten yang menjadi lokasi KLB," tutur Marinus kepada BBC Indonesia melalui sambungan telepon, Rabu (24/1).

Krisis kesehatan yang melanda Asmat sebelumnya juga terjadi pada beberapa kabupaten lain di Papua, antara lain Yahukimo, Nduga, dan Pegunungan Bintang, yang juga memiliki APBD triliunan rupiah.

Hak atas foto Antara/Reuters Image caption Seorang ayah memeluk anaknya dalam perjalanan di atas perahu setelah berobat ke posko kesehatan di Kampung Jetsy, Asmat.

Awal pekan ini, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut Pemkab Asmat menganggarkan 10% APBD 2017 untuk kesehatan, sesuai anjuran pemerintah pusat.

Tjahjo mengatakan kementeriannya tengah menginvestigasi hubungan sebab-akibat dalam alokasi anggaran dan krisis gizi di Asmat.

Namun Marinus menduga penggunaan APBD tidak tepat sasaran karena kompetensi pejabat yang rendah. Menurutnya, kepala daerah di Papua cenderung mempolitisasi birokrasi.

Para birokrat semacam itu disebut Marinus tidak dapat memaksimalkan anggaran yang tersedia.

"Struktur pemerintahan dibangun atas dasar suka-tidak suka. Kepala dinas yang dulu berpihak ke kandidat lain digantikan 'orang-orang' kepala daerah baru, yang belum tentu punya kompetensi," ucapnya.

Hak atas foto Antara/Reuters Image caption Seorang ibu menemani anaknya yang kekurangan gizi di pusat penanggulangan KLB. Keterbatasan rumah sakit memaksa posko kesehatan didirikan di bangunan gereja di Agats.

Kabupaten Asmat yang terdiri dari sembilan distrik (setingkat kecamatan) dan lebih dari 100 kampung. Luas kabupaten itu mencapai 29.000 kilometer persegi atau 48 kali luas DKI Jakarta.

Pemuka agama di Asmat, Uskup Aloysius Murwito, menyebut akses transportasi menuju dan di dalam Asmat sangat buruk. Kampung terjauh dari Agats, ibu kota Asmat, berjarak tujuh jam perjalanan laut menggunakan perahu mesin.

"Kampung-kampung itu tidak memiliki fasilitas listrik atau air yang memadai, alat komunikasi pun tidak ada.

"Di tempat seperti itu fasilitas dasar sungguh rendah, terutama kesehatan dan pendidikan," ujar Aloysius kepada BBC Indonesia saat dihubungi dari Jakarta.

Hak atas foto Antara/Reuters Image caption Anak penderita kekurangan gizi melangkah di jalan papan usai berobat di posko kesehatan di Agats, ibu kota Asmat yang dijuluki kota papan karena jalanan di daerah rawa itu berbahan papan, bukan beton.

Aloysius yang telah 15 tahun menetap di Asmat mengatakan, tenaga kesehatan di perkampungan, terbatas. Kalaupun ada, kata dia, petugas medis dari pemerintah itu jarang bersiaga di posko kesehatan.

"Kalau ada orang sakit, siapa yang menangani? Kalau harus pergi ke puskesmas di distrik, apakah ada minyak atau perahu? Tidak ada penjual solar di kampung.

"Karena tidak bisa pergi saat itu juga dan perjalanan pun tidak singkat, tidak heran kalau banyak anak tidak sembuh. Tidak ada obat dan pengobatan," tutur Aloysius.

Hak atas foto Antara/Reuters Image caption Anak-anak kekurangan gizi di Asmat juga dilarikan ke posko kesehatan yang dibuka TNI di Agats.

Menurut data Badan Pusat Statistik, setidaknya hingga 2013, Asmat hanya memiliki 12 puskesmas dan 12 dokter. Rumah Sakit Umum Daerah yang tergolong tipe C berada di Agats.

Kementerian Kesehatan pekan lalu mengirim puluhan dokter ke Asmat untuk menanggulangi KLB. Presiden Joko Widodo pun memerintahkan TNI dan Polri mengerahkan tenaga medis dan membuka posko kesehatan.

Namun Marinus Maung menyebut Pemprov Papua dan Pemkab Asmat menyediakan lebih banyak tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan dedikasi.

"Tantangan melayani kesehatan warga di pedalaman memang berat. Pemerintah daerah harus memberikan jaminan kesejahteraan yang tinggi," tuturnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.