Krisis Rohingya: Wartawan Reuters ditahan 'karena menyelidiki dugaan pembunuhan di Myanmar'

Krisis Rohingya: Wartawan Reuters ditahan 'karena menyelidiki dugaan pembunuhan di Myanmar'
Krisis Rohingya: Wartawan Reuters ditahan 'karena menyelidiki dugaan pembunuhan di Myanmar'
Pria Rohingya Hak atas foto Handout Image caption Inilah pria-pria Rohingya yang kematiannya diinvestigasi oleh dua wartawan Reuters.

Kantor berita Reuters membeberkan informasi terkait investigasi tentang dugaan pembunuhan massal terhadap Muslim Rohingya oleh tentara dan penduduk desa di Myanmar, yang dikatakannya menjadi alasan penahanan kedua wartawannya.

Dikatakan oleh Reuters bahwa kedua wartawannya, Wa Lone dan Kyaw Seo Oo, menemukan bukti-bukti pembunuhan tanpa alasan yang sah terhadap 10 Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine tahun lalu.

Dua di antara 10 pria itu, kata Reuters, dibacok hingga meninggal dunia oleh warga setempat yang beragama Buddha, sedangkan sisanya ditembak oleh tentara.

Wa Lone dan Kyaw Seo Oo kini berada dalam tahanan dan menunggu persidangan dengan tuduhan melanggar Akta Rahasia Resmi.

Hak atas foto EPA Image caption Kyaw Soe Oo (tengah kiri) dan Wa Lone (tengah kanan) ditangkap pada Desember 2017.

Upaya untuk mengungkap dugaan pembunuhan itu diharapkan dapat menunjukkan bahwa kedua wartawan tersebut bertindak untuk kepentingan publik.

Peringatan: Dalam laporan ini terdapat foto yang menunjukkan mayat-mayat setelah mereka diduga dibunuh.

Pemimpin redaksi Reuters, Stephen J Adler mengatakan, "Ketika Wa Lone dan Kyaw Soe Oo pertama kali ditahan, fokus utama kami adalah keselamatan mereka. Begitu kami memahami status hukum mereka, setelah konsultasi bersama Wa Lone dan Kyaw Soe Oo serta keluarga mereka, kami memutuskan bahwa kami berkewajiban untuk menerbitkan kesaksian tentang apa yang terjadi di Desa Inn Din."

Penyelidikan yang dilakukan oleh militer Myanmar menguatkan temuan yang didapat oleh kedua wartawan tersebut tetapi dalam hasil penyelidikan militer disebutkan bahwa 10 pria itu adalah "teroris Bengali."

BBC tidak bisa melakukan verifikasi secara indepnden tentang rincian dugaan pembunuhan itu karena akses ke lokasi kejadian dibatasi oleh pihak berwenang. Betapapun peristiwa itu terjadi ketika muncul serangkaian tuduhan pembunuhan skala besar di Rakhine tahun lalu berdasarkan kesaksikan para saksi mata.

Hak atas foto Handout

Krisis terbaru bermula ketika kelompok militan Rohingya menyerang sejumlah pos polisi pada akhir Agustus lalu. Pihak berwenang lantas melancarkan operasi militer dan ratusan ribu warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh untuk menghindari aksi kekerasan oleh aparat keamanan Myanmar maupun kelompok nasionalis Buddha di Rakhine.

Militer menegaskan pihaknya memerangi kelompok militan Rohingya yang mereka sebut sebagai "teroris Bengali", namun menurut sejumlah organisasi hak asasi manusia, ribuan warga sipil tewas.

Apa yang terjadi dengan dua wartawan Reuters?

Wa Lone dan Kyaw Soe Oo tercatat sebagai wartawan Myanmar yang telah melakukan peliputan kuat sebelumnya. Mereka ditangkap pada tanggal 12 Desember 2017 setelah bertemu dengan beberapa polisi dan mendapatkan dokumen dari mereka.

Pihak berwenang mengatakan mereka "ditangkap karena memegang dokumen pemerintah yang penting dan rahasia terkait dengan Negara Bagian Rakhine dan pasukan keamanan" dan bahwa informasi "didapat secara tidak sah dengan niat dibagikan kepada media asing".

Namun sejak penangkapan mereka, muncul spekulasi bahwa kedua wartawan itu melakukan investigasi tentang sesuatu yang sangat sensitif.

Kini Reuters memutuskan untuk merilis informasi rinci untuk mendukung klaim bahwa kedua wartawannya menggali berita yang mempunyai nilai kepentingan publik yang jelas.

Apa yang kita ketahui tentang penyelidikan itu?

Penggalian berita dipusatkan pada peristiwa yang terjadi di Desa Inn Din, Rakhine utara, pada tanggal 2 September 2017.

Dikatakan oleh Reuters bahwa dua wartawannya mengumpulkan bukti-bukti tentang dugaan eksekusi 10 pria berdasarkan wawancara dengan penduduk desa yang beragama Buddha, personel keamanan dan foto-foto. Informasi-informasi tersebut kemudian digodok, kata Reuters.

Hak atas foto Reuters Image caption Ratusan ribu orang Rohingya mengungsi dari Rakhine, Myanmar, ke Bangladesh sejak akhir Agustus 2017.

Menurut Reuters, sekelompok pria Rohingya yang bersembunyi di pantai dijadikan sasaran ketika desa mereka digerebek.

Orang-orang Buddha dari desa lantas diperintahkan untuk menggali kuburan dan 10 orang Rohingya itu dibunuh. Setidaknya dua orang dibacok hingga meninggal dunia oleh warga desa, sementara selebihnya ditembak oleh tentara.

Ditambahkan oleh kantor berita itu bahwa inilah untuk pertama kalinya tentara diduga terlibat dengan bukti foto dan keterangan dari sesama personel keamanan. Reuters juga mengaku mengantongi kesaksian dari para warga Buddha setempat.

Setelah dua wartawan ditangkap, militer Myanmar melakukan penyelidikan sendiri tentang peristiwa itu. Penyelidikan mendukung apa yang ditemukan oleh dua wartawan Reuters bahwa telah terjadi eksekusi.

Namun militer menyebut 10 pria Rohingya itu sebagai "teroris Bengali". Dikatakannya mereka dieksekusi karena mereka tidak bisa dibawa karena adanya serangan-serangan militan Rohingya terhadap pos-pos polisi.

Reuters mengklaim wartawannya tidak menemukan bukti bahwa 10 pria itu terkait dengan terorisme. Sejumlah saksi mata mengatakan 10 pria itu diciduk dari tengah kerumunan massa.

Masih menurut Reuters, kedua wartawannya berbicara dengan para saksi mata di Desa Inn Din, polisi dan sanak keluarga dari orang-orang yang dibunuh - yang kini berada di kamp pengungsian di Bangladesh. Satu laki-laki mengaku membunuh seorang Muslim Rohingya, papar Reuters.

Bagaimana tanggapan pemerintah Myanmar?

BBC menghubungi pihak berwenang Myanmar untuk meminta tanggapan atas hasil investigasi Reuters dan masih menunggu jawabannya. Kendati demikian, juru bicara pemerintah Zaw Htay mengatakan kepada Reuters, "Kami tidak menepis tuduhan pelanggaran hak asasi manusia."

Image caption Wartawan BBC menyaksikan rumah-rumah orang Rohingya yang dibakar pada September 2017.

Jika ada "bukti yang kuat dan bukti utama yang dapat dipercaya" tentang terjadinya pelanggaran, maka pemerintah akan melakukan penyelidikan, katanya.

"Dan jika kita mendapati buktinya benar dan pelanggaran memang terjadi, kami akan mengambil yang diperlukan sesuai dengan hukum yang berlaku."

Ia memberikan pembelaan terhadap operasi militer di Rakhine.

"Masyarakat internasional perlu memahami siapa sejatinya yang pertama kali melakukan serangan teroris. Jika serangan teroris seperti itu terjadi di negara-negara Eropa, di Amerika Serikat, di London, New York, Washington, apa yang akan dikatakan media?"

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.