Mengapa banyak orang hanya menonton, tidak menolong korban kecelakaan?

Mengapa banyak orang hanya menonton, tidak menolong korban kecelakaan?
Mengapa banyak orang hanya menonton, tidak menolong korban kecelakaan?
Kawasan Tanjakan Emen Hak atas foto Kompas.com/Agie Permadi

Sekelimut kisah miris terselip dalam kecelakaan bus maut di Tanjakan Emen, Subang, Jawa Barat, akhir pekan lalu yang menyebabkan 27 orang meninggal dunia dan mereka adalah anggota Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Permata, Ciputat, Tangerang Selatan.

Salah satu korban yang selamat, Karmila, menuturkan pengalamananya keluar dar bus dengan susah payah setelah bus itu terjatuh, terguling dan kemudian berhenti.

Meski warga sekitar berdatangan, mereka tidak bergerak menolong, malah merekam situasi mencekam yang terjadi dengan gawai mereka.

Bahkan, ketika perempuan berusia 44 tahun ini berhasil keluar dari bus dan berniat meminjam gawai salah satu warga untuk menelepon kerabatnya, warga itu enggan meminjaminya.

Kecelakaan bus beruntun: 'Apakah naik bus masih aman?' Kecelakaan konstruksi terulang lagi, pengamat sebut ada 'kegagalan manajemen' Bom Kampung Melayu: Mengapa masyarakat cenderung mendekat ke lokasi ledakan?

Namun mereka terus merekam peristiwa penyelamatan korban kecelakaan.

Hal ini sontak menuai kecaman warga net.

Seperti yang diungkapkan pemegang akun Twitter @giewahyudi.

Senada, pemilik akun @Dadbosco pula menceritakan pengalamannya ketika travel yang ia tumpangi mengalami kecelakaan di jalan tol.

Sopir dan satu penumpang terjepit di bagian depan mobil, sementara dirinya dan penumpang lain berusaha keluar mobil.

Ketika dirinya berteriak minta tolong kepada kendaraan yang lalu lalang. Mereka berhenti, namun sibuk mendokumentasikan dan enggan terlibat dalam proses penyelamatan.

Pemegang akun @bravado tak kalah geramnya. Ia lalu menautkan beberapa nomor darurat yang bisa dihubungi ketika terjadi kecelakaan.

Pengamat media sosial, Nukman Luthfie, memandang fenomena ini menggambarkan perubahan perilaku masyarakat dalam mengaktualisasikan diri di media sosial.

Di tengah era media sosial dan internet cepat seperti sekarang, menurut Nukman, masyarakat cenderung memiliki keingingan menjadi orang pertama yang mengabarkan suatu hal, terutama hal-hal yang bakal menimbulkan perhatian massal.

"Biasanya yang mendapat perhatian massal itu kecelakaan, kebakaran, anak hilang, dan seterusnya, yang publik akan sangat perhatian sama itu. Publik di media sosial itu ada kecenderungan untuk menjadi yang pertama mengabarkan," ujar Nukman kepada BBC Indonesia, Kamis (15/02).

Maka dari itu, ketika suatu peristiwa terjadi, mereka langsung merekam dan memotret dengan gawainya.

"Jadi ada semangat untuk menjadi jurnalis warga," kata dia.

Hak atas foto EPA Image caption Masyarakat berkerumun di dekat lokasi ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta.

"Ini mungkin terinspirasi oleh viralnya video tsunami di Aceh yang kemudian diputar di TV berulang-ulang dan lain-lain," imbuhnya.

Tak hanya ketika terjadi kecelakaan, Nukman menuturkan fenomena serupa juga terjadi pada saat terjadi insiden serangan bom di Sarinah, Jakarta Pusat, pada awal tahun 2016.

"Warga berdatangan ke sana hanya untuk merekam, bahkan ada beberapa orang yang sudah dilarang polisi, masuk ke Sarinah, ketika tembak-tembakan terjadi antara polisi dan teroris."

"Kenapa? Karena keinginan untuk menjadi yang pertama. Merasa kalau sudah menjadi yang pertama, akan viral," tandasnya.

Hal serupa kembali terjadi pada serangan bom yang terjadi serangan bom di Kampung Melayu, tahun lalu.

Tayangan video bunuh diri: Mengapa masyarakat tidak empati? Pengguna internet diminta tak sebarkan rekaman video bunuh diri di Facebook

Lalu, mengapa orang-orang hanya mendokumentasikan namun enggan menolong? Apa yang membuat orang mengabaikan orang lain yang membutuhkan bantuan?

Ahli psikologi dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk menuturkan, penjelasan yang masuk akal adalah efek bystander (bystander effect) dan diffusion of responsibility, yang merupakan istilah psikologi sosial ketika orang tidak membantu dalam situasi darurat jika ada saksi lain yang hadir.

Terinspirasi dari peristiwa pembunuhan Kitty Genovese pada tahun pertengahan 1960-an di New York, AS. Ketika hendak pulang ke apartemen dari tempat kerjanya, dia ditikam dari belakang dari belakang oleh seorang pria.

"Terus dia minta tolong. Padahal lampu di apartemen itu masih nyala semua. Tapi tidak satu pun menolong, karena saling lihat-lihatan."

"Sampai dia dua kali menjerit minta tolong, tidak ada juga yang menghubungi polisi. Semua saling melihat," ujar Hamdi.

Hak atas foto ADEK BERRY/Getty Images Image caption "Jadi manusia dan era digital ini punya perilaku yang kontraproduktif," ujar pakar psikologi dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk.

Di sini lah terjadi efek bystander tersebut terjadi.

"Jadi kadang-kadang semakin banyak orang menyaksikan itu, malah bukan pertolongan yang terjadi," kata dia.

Menurut dia, saat ini fenomena bystander effect makin menjadi-jadi seiring makin banyaknya orang yang hanya menonton, bukannya menolong.

"Semakin banyak bystander, malah bukan pertolongan makin cepat, orang makin berpikir 'Loh kalau udah terjadi gini kan yang harus nolong polisi, bukan saya dong. Saya kan hanya orang yang menyaksikan'. Dia akan makin banyak mengandalkan pada otoritas."

Justru ironis, lanjut Hamdi, teori psikologi sosial menunjukkan orang malah akan sigap menolong, kalau yang menyaksikan sedikit.

"Semakin banyak orang, malah nggak nolong," tukasnya.

Hal ini diperparah dengan fenomena baru di tengah era media sosial, yaitu sense of publicity.

"Dia senang menjadi orang yang mem-publish. Karena dalam hukum publikasi, siapa yang cepat dia paling unggul. Jadi orang berlomba-lomba siapa yang paling dulu merekam."

"Jadi manusia dan era digital ini punya perilaku yang kontraproduktif."

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.