Puisi Sukmawati Soekarnoputri: Tekanan massa 'berlebihan' tetapi ada presedennya
Bukan hanya laporan polisi, puisi Sukmawati Soekarnoputri pun mungkin akan berujung pada aksi massa turun ke jalan yang direncanakan akan digelar pada Jumat (06/04) besok.
Pada Selasa (03/04) Sukmawati dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Ketua DPP Partai Hanura Amron Asyhari. Keesokannya pada hari Rabu (04/04), Sukmawati dilaporkan lagi ke polisi oleh Forum Anti Penodaan Agama (FAPA).
"Kita buat laporan karena dalam acara tersebut Ibu Sukmawati menyampaikan puisi yang menurut kita merendahkan, menodai agama Islam," kata pelapor Mursal Fadhilah dari FAPA.
Aksi turun ke jalanWalaupun sejauh ini kasusnya sudah dilaporkan oleh dua pelapor ke kepolisian, aksi terhadap Sukmawati tampaknya tidak berhenti di situ. Jumat (06/04) besok rencananya kelompok yang disebut alumni gerakan 212 akan menggelar demonstrasi.
Alasannya menurut Budhi Haruman Guawijaya, seorang anggota kelompok itu, karena dia "ingin menunjukkan bahwa dia Islam dan dia Indonesia."
"Karena narasinya dari Ibu Sukmawati itu sepertinya ingin membenturkan antara syariat Islam dengan Indonesia. Jadi kesannya kalau saya Islam, saya itu tidak Indonesia. Kalau saya Indonesia, harusnya tak boleh menjalankan syariat sesuai agama kita," paparnya.
Namun, tidak semua alumnus 212 akan mengikuti aksi turun ke jalan.
"Tidak (ikut). Mungkin salah satu yang ikut aksi 212 melihat 'oh sudah ada yang berangkat kita lihat dulu saja'. Karena banyak hal yang lain yang harus diurusi, bukan cuma itu saja," kata Kamal Muzakki.
"Dan sebetulnya urusan keumatan Islam kan ada amar ma'ruf (perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik) ada nahi munkar (mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat). Nah kebetulan sekarang kami fokusnya di amar ma'ruf bukan di nahi munkar," tambah Kamal.
Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Aksis 212 (2 Desember 2016) di Monas menuntut gubernur DKI saat itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihukum atas penistaan agama.Permohonan maaf SukmawatiSukmawati sendiri telah mengumumkan permohonan maaf kepda umat Islam atas reaksi yang timbul akan puisinya.
Dalam konferensi pers yang diadakannya pada Rabu (04/04), dia mengatakan bahwa "karya sastra dari Puisi Ibu Indonesia ini telah memantik kontroversi di berbagai kalangan, baik pro dan kontra khususnya di kalangan umat Islam".
"Dengan ini dari lubuk hati yang paling dalam, saya mohon maaf lahir dan batin kepada umat Islam Indonesia khususnya bagi mereka yang tersinggung dan berkeberatan dengan Puisi Ibu Indonesia," kata Sukmawati di hadapan para wartawan.
Walau Sukmawati telah meminta maaf, pengamat politik Islam dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, menilai Sukmawati tidak sensitif dengan kondisi sosiologi masyarakat saat ini.
Hak atas foto YOUTUBE INDONESIA FASHION WEEK Image caption Sukmawati Soekarnoputri saat membacakan puisinya di Indonesia Fashion Week.Mengandung 'muatan politik'
Bagaimanapun, Ubedilah Badrun yang adalah pengajar Sosiologi Politik di UNJ berpendapat bahwa aksi turun ke jalan menentang Sukmawati adalah sesuatu yang berlebihan dan dapat ditafsirkan mengandung muatan politik.
"Bisa saja kan kemudian ditafsirkan bahwa muatan politiknya adalah untuk mengurangi elektabilitas partai dimana keluarga Soekarno ada di situ, dan Megawati Soekarno juga," kata Ubedilah.
"Saya kira jadi sensitif dan menjadi isu SARA makanya tidak usahlah dibesar-besarkan dan tidak usah juga banyak membuat pernyataan yang menimbulkan munculnya isu SARA."
Meski begitu, hal itu disanggah oleh Mursal Fadhilah dari Forum Anti Penodaan Agama (FAPA) yang mengaku juga akan mengikuti aksi di hari Jumat nanti.
"Ini murni pembelaan terhadap agama dan tidak ada agenda politik apapun dan tidak terkait dengan parpol apapun tapi murni merupakan perintah agama untuk membela agama," kata Mursal.
Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Di hadapan para wartawan, Sukmawati Soekarnoputri meminta maaf karena puisinya telah memantik kontroversi.Di'ahok'kan?Pengamat HAM Ismail Hasani dari SETARA Institute juga berpendapat tidak perlu ada tekanan massa untuk kasus Sukmawati itu.
"Menghormati pihak-pihak yang sudah melaporkan Sukmawati, saya kira biarkan polisi bekerja secara profesional tanpa diiringi tekanan publik yang menguras energi," kata Ismail.
"Karena kalau ada tekanan massa, yang terjadi bukan fair trial tetapi seperti kasus lain seperti ini, trial by the mob."
Selain itu, Ismail juga menjelaskan bahwa akar dari Pasal 156a yang saat ini digunakan beberapa pihak untuk melaporkan Sukmawati memiliki proses-proses nonjudisial seperti "diklarifikasi, diperingatkan dan dibimbing."
"Tetapi pelaporan semacam ini (kasus Sukmawati) banyak presedennya artinya Pak Basuki dilaporkan tanpa melalui proses klarifikasi, tanpa melalui proses peringatan."
Setelah mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dipenjara tercatat kasus penistaan agama telah disidangkan tiga kali: dr. Otto Rajasa di Balikpapan, Aking Saputra di Karawang dan Arnoldi Bahari di Pandeglang.
Post a Comment