Ombudsman sebut ada 'maladministrasi' dalam impor 500 ribu ton beras

Ombudsman sebut ada 'maladministrasi' dalam impor 500 ribu ton beras
Ombudsman sebut ada 'maladministrasi' dalam impor 500 ribu ton beras
Aktivitas perdagangan beras di pasar induk beras Cipinang berjalan seperti biasa Hak atas foto EPA Image caption Aktivitas perdagangan beras di pasar induk beras Cipinang berjalan seperti biasa

Rencana Kementerian Perdagangan mengimpor 500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand dipertanyakan sejumlah pihak. Ombudsman Republik Indonesia menilai ada maladministrasi dalam rencana tersebut.

"Ada beberapa gejala maladministrasi yang kami temukan," kata anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih, di Jakarta, Senin (15/01).

"Kami kasih warning karena kami punya fungsi pencegahan," tambahnya.

Salah satu yang disorot Ombudsman adalah penunjukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai pengimpor beras. Menurut Ombudsman, impor beras seharusnya oleh Bulog.

Ombudsman, kata Alamsyah, tidak anti atau pro kebijakan impor beras oleh pemerintah. Kepentingan Ombudsman adalah agar semuanya dilakukan sesuai aturan dan tertib administrasi.

"Kami itu rezim administratif. Jadi sepanjang sesuai prosedur yang benar, impor itu urusan pemerintah. Kalau tidak benar, Ombudsman harus mengingatkan karena kami pengawas," kata Alamsyah.

Harga beras mencapai 'rekor nasional', pemerintah jamin stok cukup Harga beras melonjak, masyarakat gundah Sawah beralih jadi perumahan atau industri mengancam ketahanan pangan

Pemerintah berencana mengimpor 500.000 ton beras. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan itu untuk mencegah kekurangan pasokan beras. "Masalah perut, masalah pangan itu jadi proritas," kata Enggartiasto pekan lalu.

Alasan memilih PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) adalah agar menghindari hal yang tak diinginkan. "Kenapa tidak Bulog? Supaya jelas. Nanti timbul lagi persoalan, kalau Bulog dioplos dan sebagainya," kata dia.

Pemerintah, lanjut Enggartiasto, berencana mengimpor beras yang berkualitas premium. Untuk nantinya dijual dengan harga yang kualitas medium. Alasannya beras jenis ini yang banyak dikonsumsi masyarakat.

Hak atas foto KOMPAS Image caption Menteri Enggartiasto saat mengumumkan rencana impor 500.000 ton beras.

Untuk memperlancar rencana impor itu, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 1/2018 yang mengatur BUMN bisa melakukan impor secara langsung.

Menurut Ombudsman, aturan tersebut dibuat terlalu cepat dan tanpa sosialisasi. Termasuk juga berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan.

Survei soal pasokan beras yang sebenarnya

Terkait rencana impor itu, Ombudsman melakukan survei di 31 provinsi guna mengetahui fakta soal pasokan seperti yang disebut Menteri Enggartiasto. Mereka mewawancarai pedagang tradisional.

Hasilnya cukup mengejutkan. Bahwa pasokan di tingkat masyarakat pas-pasan dan tidak merata. Bahkan ada juga daerah yang pasokannya minim. "Soal pemerataan stok jadi hal yang penting," kata Alamsyah.

Hak atas foto OMBUDSMAN RI Image caption Temuan Ombudsman RI menunjukkan ketidakmerataan pasokan beras.

Di beberapa provinsi, lanjut Alamsyah, didapati pasokan yang menurun dan dibarengi dengan kenaikan harga yang di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan (HET). Misalnya Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Sementara provinsi-provinsi yang aman pasokan dan harganya yang stabil juga banyak didapati. Misalnya Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, hingga Papua.

Temuan Ombudsman itu menepis pernyataan pemerintah, yakni Kementerian Pertanian, bahwa stok beras aman. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Gatot Irianto memastikan produksi beras tidak berkurang.

Stok di Bulog, kata Gatot, juga masih sebesar 1 juta ton cukup sampai panen raya pada Februari mendatang. "Sehingga tak ada argumen sedikit pun harga beras naik," kata dia.

Hak atas foto BBC INDONESIA Image caption Kementerian Pertanian menjamin pasokan beras aman hingga panen raya mendatang.

Pernyataan Kementerian Pertanian bertolak belakang dengan langkah yang diambil Kementerian Perdagangan yang hendak mengimpor beras. Menurut Ombudsman, hal itu karena bedanya kebutuhan masing-masing kementerian.

Kenaikan harga beras sejak akhir tahun kemarin, sudah menyentuh angka tertingga selama dua dekade terakhir, yakni Rp13.000 per kilogram. Harga itu naik secara bertahap sekitar Rp300 hingga Rp500 per pekan.

Menurut para pedagang, kenaikan harga beras ini karena pasokan dari daerah penghasil padi di Jawa Barat dan Jawa Timur menurun.

Hak atas foto BBC INDONESIA Image caption Harga beras sempat melonjak tinggi di pasaran.Harga riil di pasar induk beras cipinang

BBC Indonesia mengunjungi Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, untuk menanyai pedagang yang ada di sana. Billy, salah seorang pedagang, mengatakan bahwa beras tipe medium susah didapat.

"Harga beras medium hari ini Rp11.000 setiap kilogram. Kalau beras premium Rp12.000," kata Billy. Harga tersebut, lanjut Billy, fluktuatif tergantung pasokan dan permintaan.

Menurut Billy, rencana pemerintah mengimpor beras medium sudah tepat. Pasalnya saat ini beras berkualitas tersebut jarang di pasaran. "Barangnya (hampir) tidak ada," kata dia.

Hak atas foto BBC INDONESIA Image caption Pedagang menginginkan amannya pasokan beras untuk dijual.

Iqbal, seorang calon pembeli yang ditemui juga mengisahkan hal serupa. Ia sengaja datang hari Senin (15/01) ini ke pasar induk karena harga yang lebih murah dibanding pekan lalu.

Beras yang kini berharga Rp10.800 per kilogram, kata Iqbal, sudah mengalami penurunan. Pekan lalu, ia juga datang mau membeli ketika harganya Rp11.000, namun batal karena masih mahal.

Menurut Iqbal, selisih harga tersebut terasa signifikan untuk pedagang eceran seperti dia. "Saya jualan beras di pinggiran Jakarta. Dengan kualitas sama, kalau (beli) lebih murah, kan lebih untung," kata dia.

Pantauan BBC, aktivitas perdagangan beras di pasar induk berlangsung seperti biasanya. Omset rata-rata transaksi setiap harinya, kata Billy, ada transaksi atas 1.500 ton beras.

Mengkritisi rencana impor beras

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati, mengatakan rencana impor beras oleh pemerintah adalah hal yang wajar. Terutama untuk kepentingan mengamankan pasokan.

Tapi menurut Enny, waktu untuk menyelenggarakan impor di bulan Januari atau Februari tidaklah tepat. Pasalnya pada periode Februari adalah jadwal panen raya para petani beras.

Enny khawatir kedatangan beras impor merusak harga beras petani ketika panen nanti. "Jadi nanti yang beli beras petani ini siapa?" kata dia. "Mestinya keputusan impor bukan sekarang."

Hak atas foto BBC INDONESIA/TITO Image caption Dikhawatirkan kedatangan beras impor membuat beras petani tidak terserap.

Lebih lanjut, Enny juga menyoroti rencana mendatangkan beras kualitas premium namun nantinya akan dijual dengan harga medium. "Siapa yang menanggung selisih ini?" kata dia.

Pemerintah, tambah Enny, seharusnya bisa memprediksi kebutuhan dan memastikan pasokan beras yang aman.

Terutama impor beras ini hanya menguntungkan sebagian kecil pedagang besar.

Berulangnya impor beras, lanjut Enny, juga perlu dipertanyakan.

"Berarti menyenangkan dan menguntungkan," kata dia. Menguntungkan siapa? "Yang pasti bukan untuk rakyat," pungkasnya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.