Pelajar SMA di Padang, Sukabumi, dan Solo dianggap paling rentan terpapar radikalisme
Para pelajar sekolah menangah atas di Padang, Sukabumi, dan Solo paling mudah terhasut ideologi radikal, menurut penelitian Maarif Institute.
Selain faktor sejarah yang mengaitkan tiga kota tersebut sebagai kampung halaman sejumlah pelaku tindak terorisme, radikalisme disebut menyusup ke para pelajar melalui ekstrakurikuler kegiatan kerohanian Islam, biasa disebut rohis.
"Yang paling serius adalah kota-kota itu. Ada latar belakang sejarah, tapi faktor sosial, ekonomi, politik membuat seseorang berpikir berbeda," kata Peneliti Maarif Institute, Zuly Qodir, kepada BBC Indonesia di Jakarta, Jumat (26/01).
Penelitian Maarif Institute digelar selama Oktober hingga Desember 2017. Selain tiga kota tadi, mereka juga meneliti tiga kota lain, yakni Cirebon, Bali, dan Tomohon.
Kajian itu menemukan, di Solo benih radikalisme muncul dalam komunitas remaja ilmiah yang memusatkan kegiatan mereka pada pemahaman keislaman.
Mayoritas kelompok itu, kata Zuly, bercorak tarbiyah atau mengacu Ikhwanul Muslimin yang mengupayakan penegakan syariat Islam.
Kelompok pelajar di Sukabumi, menurut penelitian itu, juga dipengaruhi tarbiyah. Sementara sebagian lainnya berjejaring dengan pesantren dan sekolah tinggi di kota lain yang mempropagandakan anti-kebhinekaan.
"Eksesnya adalah mobilisasi massa untuk 'aksi bela Islam' di Jakarta tahun 2016. Keberangkatan para siswa ke Jakarta turut difasilitasi pesantren atau sekolah," ujar Zuly.
Hak atas foto AFP Image caption Maarif Institute menyebut radikalisme di sekolah muncul karena faktor guru, kepala sekolah, dan alumni. (Foto ilustrasi)Adapun para pelajar di Padang, terutama aktivis rohis, merujuk laporan Maarif Institute, mendapatkan pengaruh sejumlah figur yang dekat dengan gerakan solidaritas Timur Tengah.
"Keadaan ini diperkuat penggunaan media sosial yang berujung grup pertemanan. Seringkali muncul unggahan yang mendorong paham antikebangsaan dan intoleransi.
"Pengurus OSIS di beberapa sekolah di ketiga kota itu mengaku sering mendapat postingan tersebut, lalu meneruskannya ke individu dan grup pertemanan lain," tutur Zuly.
'Tolak Merah-Putih'Zuly mengatakan, dalam kajian Maarif Institute, mayoritas pelajar baru sebatas mendapat benih radikalisme. Pola pikir itu, kata dia, belum berujung tindakan yang melukai orang lain.
"Belum sampai tindakan yang mengarah ke terorisme, baru pemahaman dan pikiran yang menganggap orang yang berbeda itu adalah ancaman," tutur Zuly.
Pemahaman itu, kata Zuly, setidaknya seperti yang dicatat Gerakan Pemuda Anshor di Cirebon tahun 2015 tentang 10 siswa yang menolak mengikuti upacara penghormatan bendera.
Selain itu, ada pula pelajar yang dilaporkan menolak pelajaran sejarah dan menyebut kawan siswa dan gurunya sebagai kafir.
"Ada juga yang membentuk perkumpulan rohis tandingan karena menganggap rohis yang dikelola OSIS tidak mengajarkan Islam secara benar," ucap Zuly.
Hak atas foto AFP Image caption OSIS di berbagai sekolah di kota-kota Indonesia dinilai gagal menjadi wadah pembauran siswa dengan latar belakang berbeda. (Foto ilustrasi)Tak hanya di Solo, Sukabumi, Padang, dan Cirebon, gajala serupa juga muncul di Jakarta.
Tetty Sulastri, guru SMA Negeri 7 Jakarta, mengaku salah satu siswanya terindikasi terpapar paham radikal karena menolak menghormati bendera.
Tetty mengatakan, siswanya itu aktif di kegiatan rohis dan berasal dari keluarga yang juga dekat dengan organisasi garis keras. Ia mengaku tak menyangka siswa yang kerap berkegiatan di masjid justru rentan digaet kelompok radikal.
"Rohis tertutup di kalangan mereka sendiri, tidak seperti siswa ekstrakurikuler sepak bola, mereka di dalam masjid, selalu di dalam ruangan. Orang jadi kurang peduli karena kalau di masjid mindset-nya, mereka anak-anak baik," kata Tetty.
Menteri Agama Lukman Saifuddin pada pertengahan 2017 mengakui kerentanan pelajar terpapar radikalisme melalui rohis. Ia mendorong pengelola sekolah mengawasi kegiatan kerohanian tersebut.
Lukman saat itu berkata, pihak sekolah harus mengetahui latar belakang penceramah rohis. Tujuannya, kata dia, agar dakwah yang muncul tidak bernuansa negatif.
Hubungan sosial ekslusifSekolah, kata pengamat pendidikan, Doni Koesoema, merupakan tempat paling strategis untuk membina persatuan antarmasyarakat.
Namun ia menyebut status itu sulit terwujud jika guru dan pengelola pendidikan justru melanggengkan perbedaan yang berujung ekslusivitas.
"OSIS akhirnya tidak diberi ruang untuk gagasan kebhinekaan," ujarnya.
Hak atas foto AFP Image caption Kebijakan diskriminatif disebut Maarif Institute tidak hanya terjadi di daerah mayoritas Muslim, tapi juga kota-kota lain seperti Bali dan Tomohon. (Foto ilustrasi)Pada penelitian Maarif Institute, terdapat sejumlah kebijakan di tingkat pemerintah dan sekolah yang tidak ramah perbedaan agama.
Tidak hanya di kota-kota yang mayoritas Muslim, fenomena itu disebut Zuly juga muncul di daerah kristiani maupun agama lainnya.
"Di Tomohon, kebijakan pendidikan sangat kental nuansa Kristen, bahkan di SMA yang lokasinya sangat dekat dengan Kampung Jawa, kelurahan yang dihuni oleh masyarakat Muslim."
"Di Bali, pelajar Hindu bisa mengenakan pakaian adat, yang erat dengan ritual keagamaan ke sekolah, padahal aturan menyebut siswa tidak boleh mengenakan atribut agama apa pun ke sekolah," demikian catatan Maarif Institute.
Kasubdit Kesiswaan Kementerian Agama, Abdullah Faqih, mendorong lembaga pendidikan lebih membuka wawasan tentang keragaman, bukan perbedaan. Ia mencontohkan, Peraturan Menteri Agama 90/2013 tidak mensyaratkan agama Islam bagi guru madrasah.
Faqih menilai, kebijakan seperti itu turut melatarbelakangi posisi madrasah sebagai sekolah yang tidak rentan radikalisme, meski cenderung homogen.
"Sejauh ini tidak ada masalah. Di Jawa mungkin hampir tidak ada, tapi banyak guru non-Muslim di Sulteng dan Sulut dan tidak ada laporan resistensi," kata Faqih.
Post a Comment