ICW: Korupsi dana kapitasi BPJS 'bisa mencapai Rp1 triliun'

ICW: Korupsi dana kapitasi BPJS 'bisa mencapai Rp1 triliun'
ICW: Korupsi dana kapitasi BPJS 'bisa mencapai Rp1 triliun'
BPJS Hak atas foto AFP Image caption Dana kapitasi BPJS adalah dana yang dibayarkan BPJS setiap bulan ke puskesmas di seluruh Indonesia berdasarkan jumlah peserta BPJS yang terdaftar.

Indonesian Corruption Watch (ICW) memperkirakan dana BPJS sekitar Rp1 triliun diduga menguap akibat dipotong atau dipungut secara ilegal oleh kepala daerah.

Pada awal bulan ini, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap bupati Jombang karena diduga menerima setoran atau suap dari plt Kadinkes dengan menggunakan dana kapitasi BPJS, yang berasal dari puskesmas-puskesmas di Kabupaten Jombang.

Namun kasus dugaan penyalahgunaan dana kapitasi BPJS ini bukan yang pertama.

Seorang tenaga medis yang ditempatkan di sebuah puskesmas di kota Medan yang tidak ingin identitasnya disebutkan mengisahkan bahwa puskesmas tempatnya bekerja sempat menagih pungli kepada para staf, meskipun dananya sudah disediakan oleh pemerintah.

"BPJS mau mengadakan MOU kalau (puskesmas) kami sudah terakreditasi. Untuk ke depannya katanya, belum ada peraturan yang jelas juga," katanya.

"Kenyataannya kan ada dana dari APBD, APBN. Tapi menurut kepala puskesmas, tidak ada dana. Jadi harus menggalang dana untuk mengadakan proses akreditasi (puskesmas), jadi dikutip dari staf Rp100 ribu per bulan selama dua bulan."

"Baru kami protes. Tidak jadi pengutipan. Uang yang sudah dikutip dikembalikan tapi ada 50 staf yang mengembalikan lagi uang yang sudah dikembalikan itu ke puskesmas di depan dinas kesehatan."

Selain pungli untuk akreditasi puskesmas yang tidak seharusnya dikutip, dia juga mengisahkan bagaimana puskesmas tempatnya bekerja tidak memiliki transparansi pengelolaan dana jasa pelayanan BPJS.

"Kan ada pembagian dana BPJS, jasa pelayanan. Kami mulai juga mempertanyakan kenapa tidak transparan selama ini, tidak pernah ada kuitansi, kami tidak tahu seberapa besarnya sebenarnya."

"Kemudian kami kan konsultasi ke KPK, ke divisi pencegahan. 'Minta kuitansinya,' dia bilang begitu. Terus kami minta kuitansi sama kepala puskesmas, kepala puskesmas bilang gak pernah ada kuitansi selama ini di kota Medan."

"Tapi kami tetap berkeras, harus ada kuitansi itu, kalau tidak, kami tidak mau terima dananya. Lalu setelah tiga bulan baru diserahkan dananya sama kami berikut kuitansinya."

Hak atas foto AFP / GETTY IMAGES Image caption ICW memperkirakan praktik setoran atau pungli dana kapitasi dapat menyebabkan potensi korupsi hingga 10% dari total dana kapitasi, atau dapat mencapai Rp1 triliun.Apa itu dana kapitasi?

Dana jasa pelayanan BPJS yang dimaksud tenaga medis di Medan tersebut disebut dana kapitasi. Dana itu dibayarkan setiap bulan ke puskesmas di seluruh Indonesia berdasarkan jumlah peserta BPJS yang terdaftar.

Penggunaan dana kapitasi dipertanggungjawabkan oleh kepala puskesmas, yang dibantu oleh bendahara puskesmas.

Dana kapitasi digunakan untuk jasa pelayanan (medis dan nonmedis) sebanyak 60% dan biaya operasional (administrasi, ATK) sebanyak 40%.

Diperkirakan, dana kapitasi setiap tahun akan meningkat.

Pada 2015 dana kapitasi sebesar Rp10 triliun. Dan pada tahun 2016, dana kapitasi mencapai Rp13 triliun untuk membiayai pelayanan 188 juta peserta BPJS.

"Bisa Rp1 trilyun menguap"

LSM Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa dana kapitasi rentan disalahgunakan menjadi setoran ke kepala daerah, seperti yang diduga terjadi di Jombang.

Praktik ini dapat menyebabkan potensi korupsi hingga 10% dari total dana kapitasi, atau dapat mencapai Rp1 triliun.

"Kita melihat pemotongan dana kapitasi di daerah, misalnya yang terjadi di Jombang sampai 7%, di puskesmas yang lain dana kapitasi bisa dipotong sampai lebih 10%. Di Moro untuk kepala puskesmas itu sampai 75% dan kami menduga itu terjadi secara sistemik di daerah lain," papar Febri Hendri Antoni Arif, koordinator Divisi Investigasi ICW.

Menurutnya penyebabnya karena pegawai puskesmas itu "merupakan pegawai paling rendah di jenjang birokrasi daerah dan mereka itu rentan diintervensi oleh atasannya".

"Dan kita tahu juga kepala daerah sekarang, terutama petahana yang maju lagi kepala daerah, mereka didorong untuk mencari dana membiayai biaya politiknya untuk Pilkada atau kalau bukan yah untuk mengamankan lah kalau setelah tidak menjadi Kepala Daerah. Atau juga kalau kepala dinas untuk mengamankan posisinya," lanjut Febri.

Hak atas foto Getty Images Image caption Sekitar 60% dana kapitasi digunakan untuk jasa pelayanan BPJS, baik medis dan nonmedis.Pengawasan dana kapitasi

Lantas, siapa yang mestinya mengawasi pengelolaan dana kapitasi? BPJS Kesehatan yang membayarkan dana kapitasi ke puskesmas-puskesmas mengatakan bukan mereka.

"BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan di dalam pengawasan dan pengendalian kapitasi. Yang kita lakukan dalah dan evaluasi penyelenggaraan," kata juru bicara BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat.

Pengawasan pengelolaan dana kapitasi dilakukan oleh Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Namun sayangnya menurut pemantauan ICW, pengawasan internal pemerintah daerah ini rendah.

Sistem pengaduan pelapor

Oleh karenanya, ICW menyarankan agar pemerintah membuat sistem pengaduan atau whistle blowing system bagi pelapor atau saksi penyalahgunaan dana.

Juru bicara Kemendagri, Arief M Edie, mengatakan bahwa kementeriannya sudah memiliki sistem pengaduan itu.

"Kalau di internal namanya Inspektrorat Wilayah kalau di Kabupaten/Kota. Itu bisa dilaporkan di sana, mencatat, apa yang diminta untuk dilakukan dengan disertai data-data jadi jangan sampai itu terkesan fitnah," kata Arief.

"Di unit saya, di Puspen (Pusat Penerangan), ada namanya Sapa Kemendagri. Itu melaporkan detil apa saja yang terjadi yang dianggap merugikan pengadu, merugikan masyarakat, dianggap merugikan internal aparat, itu bisa di sapa.kemendagri.go.id."

Bagaimanapun tenaga medis yang ditempatkan di puskesmas di Medan mengaku tetap mendapatkan tekanan dengan membongkar penyelewengan dana di puskesmasnya.

"Setelah masalah pelaporan tersebut para staf yang melapor pungli kerap dipersulit pengurusan administrasi untuk kariernya."

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.