Museum-museum militer yang tak biasa di seluruh dunia

Museum-museum militer yang tak biasa di seluruh dunia
Museum-museum militer yang tak biasa di seluruh dunia
Panorama Perang Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Panorama Perang 6 Oktober #1 (Kairo,Mesir), 2009 (Kredit: Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery)

Mereka mengingatkan kita akan adegan dari film Dr. Strangelove, atau Thunderbirds: foto-foto yang diambil oleh Jason Larkin memiliki kesederhanaan dan estetika yang hampir kekanak-kanakan—atau diambil melalui filter Hollywood.

Namun gambar-gambar ini diambil di museum militer di seluruh dunia, dan mereka mengungkapkan perbedaan negara-negara dalam mengenang perang dan konflik.

"Hal-hal itu terlalu sering disederhanakan," jelas larkin. "Seharusnya ada lebih banyak konteks dan nuansa."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Sadat #1 (Kairo, Mesir), 2009 Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Sejarah Militer di Vietnam #2 (Hanoi, Vietnam), 2016

Namun fotografer Inggris ini tidak bermaksud menjadi politis. Seri Past Perfect miliknya – baru-baru ini ditampilkan dalam pameran di Flowers Gallery di London dan disiapkan untuk dipublikasikan sebagai buku pada tahun ini – fokusnya lebih pada bagaimana museum-museum ini mengumpulkan pajangannya. "Saya tidak ingin berkomentar tentang propaganda," ia menjelaskan kepada BBC Culture.

Sebuah desa di Jerman yang mengubah perang dunia Dicari selama 103 tahun, kapal selam Australia yang hilang akhirnya ditemukan

"Apa yang membuat saya tertarik adalah apa yang benar-benar memperkuat sudut pandang sejarah dan apa yang membuat publik berpikir bahwa itu merupakan kebenaran – cara sejarah ini ditampilkan, pilihan estetika yang dibuat oleh kurator dan staf museum."

Di antara 2008 dan 2016, Larkin bepergian ke Kuba, Mesir, Israel dan Inggris, AS, serta Vietnam, untuk mencari tahu bagaimana museum di setiap negara itu berperan dalam "mengkonstruksikan ideologi dan menginterpretasikan identitas kultural".

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Herzl #1 (Yerusalem, Israel), 2014

Dia menemukan bahwa ada perbedaan tajam dalam pendekatan terhadap artefak dan memori. "Setiap negara memiliki cara mereka sendiri dalam menampilkan masa lalu dan pendekatan secara menyeluruh terhadap museum dan pajangannya," jelas Larkin.

Ia berkomentar bahwa museum di Israel "lebih banyak berisi pengalaman dan sedikit mengenai fakta dan artefak – mereka lebih banyak membenamkan para pengunjung dalam sejarah".

Meski dia mulai memotret di sejumlah museum di Mesir, dia mempersempit fokusnya setelah sampai ke Israel. "Ketika saya berada di sana saya memutuskan bahwa di tempat seperti Israel, yang memiliki narasi konflik dan memiliki banyak konflik dalam perkembangannya, akan lebih tajam untuk memfokuskan seri pada hanya satu museum yang berurusan dengan konflik, perang dan militer dengan berbagai pencitraannya."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museo de Batalla de Ideas (Cardenas, Kuba), 2016

Larkin menemukan sudut pandang lain di Kuba. "Itu tentang kaum revolusioner, yang pertama atau yang merupakan bagian dari gelombang awal revolusi - semua yang mereka sentuh dan gunakan, di manapun telah berubah menjadi semacam peringatan dan dikanonisasi di dalam lemari kaca," kata dia.

"Itu merupakan cara mempersembahkan masa lalu yang mengubah para individu ini menjadi pahlawan rakyat dan tokoh legendaris."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Kota (Da Nang, Vietnam) 2016

Di Vietnam, sementara itu, dia memotret bagaimana senjata-senjata dan mesin-mesin perang digunakan dengan cara yang berbeda.

"Vietnam banyak berurusan dengan respon terhadap artefak – ada banyak patung dan banyak seniman yang dipekerjakan untuk menyusun ulang sisa-sisa perang dan menempatkan tank di atasnya, mengubah pecahan peluru menjadi patung."

Ini menawarkan kesempatan untuk mengambil langkah mundur, dan memandang sebuah konflik secara lebih kompleks. "Ada museum bernuansa di kebanyakan tempat," kata Larkin.

"Ada beberapa museum di Vietnam yang mencoba menyajikan hal-hal dengan cara yang lebih seimbang; dan di Inggris, Museum Perang Imperial di London sangat bernuansa – walaupun tidak banyak konflik kontemporer dengan Irak dan Afganistan, ini lebih merupakan respon para seniman, yang merupakan cara yang nyaman bagi museum untuk mengatasi sesuatu, mempresentasikan interpretasi orang lain tentangnya. "

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Perang Imperial #2 (Duxford, UK), 2016

Namun Larkin yakin "ada banyak tempat yang tidak melakukannya" – termasuk Inggris. "Museum Perang Imperial di Duxford, di dekat Cambridge, benar-benar hanya terdiri dari mesin perang. Ruang-ruang ini banyak dikunjungi pada saat liburan keluarga – mereka dapat menghibur, mereka mengelar pertunjukan udara yang besar – namun mesin-mesin yang dipajang sangat mematikan, dan dulu digunakan dengan akibat yang mematikan."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Pasukan Udara Kerajaan #1 (London, UK), 2015

Itu tetap membuatnya terpikat. "Saya punya anak berusia satu tahun, dan saat terakhir saya ke Museum Perang Imperial di Duxford saya berpikir: 'Saya tidak dapat menunggu dia berusia dua atau tiga tahun karena saya pasti akan membawanya ke pertunjuan udara ini, mereka luar biasa'."

Ia mengakui daya tarik dari ruangan-ruangan ini. "Saya bisa terpesona olehnya – hal yang menakjubkan, berada di bawah sebuah pesawat pengebom besar – saya tidak memisahkan diri saya dari benda itu."

Namun, cara penyajian informasi itu dapat menyesatkan. "Hanya beberapa orang terpilih yang berada di puncak pimpinan yang dapat memutuskan bagaimana museum ini akan terlihat," kata dia.

"Banyak orang di negara-negara yang saya kunjungi yang tidak akan sepakat dengan apa yang ada di museum mereka karena hanya berisi apa yang ingin disampaikan negara atau satu kelompok berpengaruh yang kaya atau militer."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Fort San Carlos (Havana, Kuba), 2016

Dan apa yang tidak dapat dikatakan sama pentingnya dengan yang dikatakan. "Daripada sekadar menampillkan pajangan yang mana Anda dapat melihat ke dalam mekanisme bom raksasa dan mengagumi teknik mesin tersebut, jika Anda menaruh sebuah plakat di sampingnya, yang mengatakan bahwa bom ini bisa menghancurkan sepuluh sekolah sekaligus, mungkin hal itu akan membuat orang-orang berpikir."

Bahkan gaya visual perang yang digambarkan sangat penting. Sejumlah diorama dalam foto Larkin menyerupai mainan, menempatkan peperangan dalam konteks yang tak terduga.

"Ada sesuatu yang menarik tentang panorama perang itu," dia menjelaskan sebuah instalasi Museum Perang Oktober 1973 di Kairo, "karena itu dilukis oleh orang Korea Utara – mereka membuat museum itu untuk Mesir, dan seniman mereka datang ke sana – karena mereka memiliki sebuah panorama yang serupa dengan Pyongyang.

"Ia mengingatkan bagaimana orang Korea Utara memandang perang – gayanya sangat mirip mainan Amerika G.I. Joe."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Ruang Perang Churchill #1 (London, UK), 2015

Filter budaya terhadap perang dapat berarti museum ideologis yang informasinya tidak gamblang, faktanya lebih berpengaruh. "Saya pikir estetika militer Amerika tertanam dalam jiwa banyak orang, kami mengenali sebuah jip militer Amerika sebelum tipe perlengkapan militer lainnya karena kendaraan tersebut berurat berakar dalam kenangan visual kami melalui film dan buku komik."

Sementara keterangan yang berbunyi rumah sebuah 'kemenangan' militer yang hebat jelas terlihat dalam niatan mereka, dengan estetika itu jauh lebih tajam, rasanya seperti pergi ke bioskop, Anda ditarik masuk dan berpikir 'Saya tidak Benar-benar tahu apa yang terjadi di film itu atau apakah itu baik atau buruk, tapi itu menyenangkan.

"Itu cenderung terjadi, dan jika Anda melakukannya dengan skenario tertentu, itu menjadi sebuah bentuk propaganda."

Bom monster yang begitu raksasa hingga tak bisa digunakan Bagaimana tanggapan kaum muda Jepang terhadap pilot kamikaze?

Larkin berharap dengan memotret museum dengan cara ini, dia dapat menciptakan jarak kritis. Sebelum proyek ini dia mengatakan," Saya tidak pernah benar-benar mempertanyakan sebuah ruang museum: 'saya selalu menganggapnya memiliki nilai nominal, dan menerima otoritas mereka."

Namun, sekarang "Anda harus mempertanyakan mengapa mereka harus menjalankannya seperti itu", dia berpendapat.

"Itulah yang bisa dilakukan fotografi dan seni - saya memotret dunia sehari-hari dan kemudian mewakili mereka di tempat lain, dan berharap bahwa dengan melakukan itu dengan pendekatan dan estetika tertentu, ada jenis keterlibatan yang berbeda daripada apa yang Anda dapatkan dari keberadaan sebenarnya."

Hak atas foto Jason Larkin, Courtesy of Flowers Gallery Image caption Museum Angkatan Udara #1 (Ho Chi Minh, Vietnam), 2016

Meski perlu mempertanyakan narasi resmi, bagaimanapun, ada kebutuhan untuk memisahkan fakta dari fiksi, terutama di era 'berita palsu'.

"Dalam beberapa hal, ini membuat proyek ini terasa lebih relevan. Tapi sayangnya proyek ini sampai pada titik ketika semua kebenaran dikesampingkan," kata Larkin.

"Tiba-tiba orang mungkin melihat proyek saya dan berpikir kita tidak dapat mempercayai apa pun lagi. Tapi pikiran itu mendestabilisasi – ke mana kita pergi dari sana, dan siapa yang bisa membawa kita kembali ke suatu keaslian?"

Anda bisa membaca artikel aslinya dalam The worlds unusual military museums atau artikel lain dalam BBC Culture.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.