PBB Minta Keterbukaan Aparat Ungkap Kasus Penyerangan Ulama
Eramuslim.com -Rentetan peristiwa penyerangan terhadap sejumlah pemuka agama belakangan ini jelas membuat masyarakat semakin resah.
Demikian disampaikan Sekjen PBB Afriansyah Ferry Noer kepada wartawan, Jumat (16/2).
Menurur Ferry, jika pihak kepolisian tidak menangani masalah ini dengan serius, instabilitas sosial yang bisa berimbas kepada kestabilan negara akibat satu sama lain saling curiga bisa semakin meruncing.
“Maraknya kejadian penganiayaan, bahkan sampai menghilangkan nyawa tokoh agama ini terjadi dalam waktu yang berdekatan. Seperti ada sebuah rangkaian peristiwa yang dirancang. Tapi mudah-mudahan anggapan ini salah,” kata Ferry.
Terlebih lagi kata Ferry, sejumlah pelaku penyerangan dalam waktu cukup singkat dinyatakan gila oleh kepolisian. Hal ini kata Ferry yang menyebabkan masyarakat curiga terhadap pola penanganan kasus-kasus tersebut meskipun Polri mengklaim telah menangani masalah ini secara proporsional dan profesional.
“Vonis gila bagi pelaku ini membuat kami risau dan khawatir. Apalagi yang diserang itu ulama dan ustadz serta tokoh-tokoh agama,” kata Ferry.
Sebagaimana diberitakan, beberapa waktu terakhir, terdapat sejumlah serangan terhadap pemuka agama. Serangan pertama menimpa pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Emon Umar Basyri, Sabtu (27/1). Serangan kedua terjadi pada 1 Februari 2018 yang menyebabkan Ustaz Prawoto, komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis) meninggal dunia.
Tak berselang lama, seorang pria yang dikatakan bermasalah dengan kejiwaannya bersembunyi di atas Masjid at-Tawakkal, Kota Bandung. Ia mengancam sejumlah santri dengan pisau yang dibawanya.
Sedangkan pada Minggu (11/2), pendeta dan jemaat Gereja Santa Lidwina, Kabupaten Sleman, DIY, diserang. Empat jemaat luka-luka dan pendeta yang memimpin ibadah pun terluka akibat serangan menggunakan pedang. Keesokan harinya, terjadi perusakan masjid di Sukabumi dan Tuban.
Terkait peristiwa-peristiwa itu, keresahan masyarakat saat ini mulai tampak dengan beredarnya seruan yang tersebar di sosial media untuk menjaga ulama dan tokoh agama.
Bahkan, di sejumlah pondok pesantren atau tempat ibadah, sejumlah santri melakukan penjagaan lebih ketat.
Menyikapi kondisi ini, sekitar 300 ulama perwakilan pondok pesantren se-Priangan Timur yang tergabung dalam Forum Masyarakat Peduli Situasi (FMPS) menghadiri rapat di Ponpes an-Nur Jarnauziyyah, Rabu (14/2). Mereka menyepakati enam poin dalam menyikapi potensi serangan ke ulama dan ponpes di wilayah Priangan Timur yang meliputi Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, dan Pangandaran.
Pada poin pertama, FMPS mendesak pemerintah, termasuk kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) menangkap dalang pelaku penyerangan terhadap tokoh agama yang meresahkan masyarakat. Poin kedua, FMPS mendesak DPR membuat aturan mengenai jaminan keamanan bagi warga negara dari segala ancaman.
Di poin ketiga, FMPS akan meningkatkan pengamanan di lingkungan masing-masing dengan pemuda setempat supaya pemuka agama bisa fokus melakukkan aktivitas pengajian.
FMPS juga meminta pengusutan secara tuntas dan transparan sejak awal proses hingga selesai agar masyarakat mengetahui rangkaian peristiwa yang terjadi. Sebab, mereka mengkhawatirkan ada rekayasa kasus ketika tidak dipublikasikan ke masyarakat. Pada poin selanjutnya, FMPS meminta semua warga negara diperlakukan sama di mata hukum.
Adapun pada poin terakhir, FMPS meminta pemerintah dan penegak hukum hadir dan aktif dalam menyikapi masalah yang terjadi di masyarakat. Hal ini dibutuhkan guna mencegah korban terus bertambah
“Untuk itu, saya meminta kepada kapolri dan jajarannya harus tegas dan terbuka dalam menjalankan tugasnya menjaga keamaman dan ketentraman bagi seluruh warganya. Jangan sampai warga masyarakat resah dan main hakim sendiri bahkan sampe curiga dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak ingin Indonesia damai, aman dan tentram,” pungkas Ferry.(kl/rm)
loading...
Post a Comment