Menanti bioskop di Aceh: Film Cut Nyak Dien, konflik bersenjata dan Perda Syariat Islam

Menanti bioskop di Aceh: Film Cut Nyak Dien, konflik bersenjata dan Perda Syariat Islam
Menanti bioskop di Aceh: Film Cut Nyak Dien, konflik bersenjata dan Perda Syariat Islam
baliho film di bioskop di Jakarta Hak atas foto BAY ISMOYO/AFP Image caption Dua baliho film di sebuah bioskop di Jakarta, 8 September 2009.

Bioskop di Aceh mulai sekarat sejak wilayah itu dilanda konflik bersenjata, tetapi formalisasi Syariat Islam di Aceh agaknya membuat pendirian bioskop menjadi tidak gampang.

Kejadiannya hampir 40 tahun silam, tetapi pria kelahiran 1976 di Sigli, Aceh, ini masih ingat detil-detil pengalamannya saat menonton film Cut Nyak Dien di sebuah bioskop di kota masa kecilnya.

"Sampai kami keluar air mata sedih," Murizal Hamzah, yang kini dikenal sebagai penulis dan editor buku, membuka kisahnya. Film tentang tokoh pahlawan perempuan asal Aceh (produksi 1988) itu, rupanya, menyentuh emosinya - dan sebagian teman-teman sebayanya.

Saat itu Rizal, begitu saya memanggilnya, adalah siswa kelas enam sekolah dasar di kota Sigli, di provinsi di ujung Sumatra. Kejadiannya pada 1988. "Saya ingat filmnya diputar jam dua atau tiga siang."

Bersama-sama teman-teman sekolahnya, Murizal menonton film kolosal itu di salah-satu bioskop tertua di kota kecilnya itu: Beringin. "Karena di depannya ada pohon beringin," katanya terkekeh.

Seraya matanya menerawang jauh, dia kemudian mengingat-ingat lagi atmosfir dan ruangan di dalam bioskop. Kursi tempat duduknya terbuat dari rotan yang "kadang-kadang ada kutunya".

Saat film diputar, ada masa jeda istirahat, sehingga sebagian penonton cepat-cepat ke kamar kecil. Murizal ingat sekali di dekat toilet bioskop ada penjual makanan yang menjajakan jualannya. "Menarik sekali."

Hak atas foto JEWEL SAMAD/AFP Image caption Penjual VCD bajakan di sudut kota Dilli, Timor Leste, 11 April 2006.

Persentuhan Murizal dengan bioskop terus berlanjut ketika dia kuliah di Banda Aceh. Di kota itu ada lebih dari empat bioskop yang menjadi hiburan bagi sebagian warga kota itu.

Tetapi aktivitasnya untuk mengisi waku luang itu terhenti ketika Aceh dilanda situasi genting akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Puncaknya saat status darurat militer diberlakukan di wilayah itu pada 2003.

"Sebelum darurat militer, saya terakhir nonton di bioskop Gajah di wilayah Kuta Alam, Banda Aceh," akunya.

Semenjak saat itulah, saat mulai diterapkan jam malam, keberadaan bioskop di Aceh terkena imbasnya dan berangsur-angsur ditinggalkan oleh penontonnya. Apalagi, bioskop Pas 21 - yang sering memutar film-film terbaru- ikut ludes terbakar bersama Pasar Aceh Shoping Center pada awal 2000.

Hak atas foto JEWEL SAMAD/AFP Image caption Seorang anggota polisi di depan baliho film di sebuah bioskop di Jakarta, 7 Mei 2007.

Dan, akhirnya kematian bioskop di Aceh menjadi keniscayaan ketika masyarakat kemudian dimanjakan peredaran cakram video berisi film bajakan dengan harga yang terjangkau.

"Sehari setelah film itu diputar di luar Aceh, seminggu kemudian VCD bajakannya sudah ada di Aceh," ungkap penulis buku Hasan Tiro: Jalan Panjang Menuju Damai Aceh ini.

Jadinya, lama-kelamaan orang-orang pun makin menjauhi bioskop. Dan puncaknya, imbuhnya, adalah faktor tsunami yang menyapu gedung-gedung bioskop yang masih bertahan.

"Jadi, faktor tutupnya (bioskop di Aceh) itu faktor konflik, ditambah tsunami dan faktor bisnis."

Begitulah. Murizal, yang kini tinggal di Jakarta, lebih meyakini bahwa keberadaan bioskop di Aceh sudah menghadap ajalnya sebelum peraturan daerah (qanun) tentang syariat Islam diberlakukan di wilayah itu pada 2005.

Hak atas foto AFP Image caption Beberapa anggota punk di kota Banda Aceh, 11 Desember 2011, dalam sebuah acara.

"Sebelum formalisasi syariat Islam diterapkan, bioskop di Aceh sudah sekarat," tandasnya. Hal ini dia tekankan untuk menepis anggapan yang menyebut bahwa ketiadaan bioskop di Aceh diawali oleh penerapan syariat Islam di wilayah itu.

Mengapa perlu bioskop di Aceh?

Dalam dua pekan terakhir, wacana pendirian bioskop di kota Banda Aceh, kembali muncul ke permukaan dan sempat menyita perhatian sebagian warga kota tersebut - utamanya anak-anak muda.

Kemunculan pro-kontra pendirian bioskop di Aceh itu diawali dialog bulanan antara warga Aceh dan Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman, melalui jaringan radio, dua pekan lalu.

"Di situ ada masyarakat bertanya via telepon ke bapak wali kota; apakah mungkin bioskop ada di Aceh," ungkap Kepala humas pemerintah kota Banda Aceh, Taufik Mauliansyah kepada BBC Indonesia, Rabu (21/03).

Hak atas foto Chaideer Mahyudin/AFP/Getty Image caption Anak-anak muda Aceh terlibat dalam peragaan busana di Banda Aceh, 21 Januari 2018.

Menjawab pertanyaan itu, menurutnya, wali kota mengaku harus mendengarkan pendapat ulama dan masyarakat lainnya, sebelum memutuskan "ya" atau "tidak".

Tuntutan pendirian bioskop sejak 10 tahun lalu

Bagaimanapun, keinginan sebagian warga Aceh untuk menikmati film di bioskop, sudah digaungkan setidaknya sejak 10 tahun silam.

Mereka menyuarakan keinginannya itu dengan berbagai cara, melalui tulisan di media, diskusi serius, berdialog dengan otoritas terkait, hingga pemutaran film di tempat umum.

"Sebenarnya kita penasaran terhadap kelompok-kelompok yang menolak adanya bioskop di Banda Aceh," ungkap Oryza Keumala, 29 tahun, warga Banda Aceh, kepada wartawan lepas di Banda Aceh, Alfath Asmunda untuk BBC Indonesia, Selasa (20/03).

Bersama rekan-rekannya, Oryza saat itu menyuarakan ide pendirian bioskop di Aceh sejak 2014 lalu. "Kita juga ingin menggali lebih dalam kenapa bioskop yang dulu ada di Banda Aceh, tiba-tiba menjadi hilang."

Hak atas foto Chaideer Mahyudin/AFP Image caption Sejumlah mahasiswa di kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, menolak keberadaan LGBT, 27 Desember 2017.

Dia menekankan, wacana pendirian bioskop di Aceh itu tidak semata dilatari kebutuhan hiburan semata, tetapi juga media pendidikan. Apalagi. katanya, perfilman nasional sudah mulai memproduksi film-film yang berkonten edukatif.

"Mengajarkan nilai-nilai nasionalisme, nilai-nilai Islam, sosial budaya. Nah, kita inginnya Banda Aceh itu punya satu atau dua tempat menonton film, entah apa itu namanya, tapi bersifat masif," paparnya.

Sehingga, warga Banda Aceh tidak hanya memiliki opsi hiburan baru, tapi juga memiliki tempat pembelajaran baru dari pemutaran film, tandasnya. Mereka juga tak perlu jauh-jauh ke Medan untuk menonton film di bioskop.

Sayangnya, ide ini tak berlanjut karena tidak mendapatkan tanggapan positif oleh otoritas kota Banda Aceh saat itu.

Dan saat ini, saat Banda Aceh dipimpin Wali Kota Aminullah Usman sejak tahun lalu, Oryza dan kawan-kawan memberikan ekspektasi yang tinggi agar pendirian bioskop di Banda Aceh terealisasi.

"Ini momentum yang baik untuk menggulirkan wacana ini," tegasnya.

Hak atas foto Chaideer Mahyudin/AFP Image caption Sejumlah siswa sekolah menengah atas di Banda Aceh, provinsi Aceh, terlibat kampanye lingkungan untuk menyelamatkan harimau dari kepunahan, 30 Juli 2017.

Sikap senada juga dilontarkan warga Banda Aceh lainnya, Danurfan, 31 tahun. Pengusaha pemilik kedai kopi ini sejak awal mendukung keberadaan bioskop di wilayahnya.

Pada 2014, ungkapnya, dia dan teman-temannya sudah mendiskusikan tentang kegunaan bioskop yang tidak semata komersil tetapi juga bisa memutar film-film karya komunitas anak-anak muda pegiat film di Aceh.

"Dan di atas 50% peserta menyatakan bioskop dibutuhkan di Aceh," ungkapnya.

Kampanye melalui nonton bareng

Walaupun pada akhirnya tidak mendapat tanggapan positif, tuntutan pendirian bioskop di Aceh tidak memudar. Hampir tiap tahun, ide ini dimunculkan kembali oleh para penyokongnya.

Tahun lalu, misalnya, lembaga yang fokus pada pengembangan film dokumenter, Aceh Documentary, menyuarakan ide itu dengan menggelar nonton film bareng, antara lain dengan memutar film Night Bus yang menyabet penghargaan tingkat nasional.

Hak atas foto Chaideer Mahyuddin/AFP Image caption Warga Aceh menunggu gerhana matahari di Banda Aceh, 9 Maret 2016.

"Saya selaku orang yang aktif di film, bioskop itu penting di manapun," kata Azhari (Ayi Meugiet), salah seorang penggiat Aceh Documentary kepada wartawan lepas di Banda Aceh, Alfath Asmunda, untuk BBC Indonesia.

Dia kemudian menceritakan pengalamannya saat mengurus perizinan untuk pemutaran film dokumenter tentang Aceh kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.

Dan berhasil, sehingga film dokumenter itu kemudian diputar keliling kampung-kampung di Aceh. "Jadi sampai saat ini saya tidak menemukan ada yang melarang (pemutaran film)," akunya.

Namun demikian, Azhari menekankan, pihaknya "tidak memiliki kemampuan" untuk memutar film terus menerus di seluruh Aceh. Di sinilah dibutuhkan ruang bioskop yang dikelola secara profesional, katanya.

Bioskop ala Qanun Jinayat?

Berbagai pernyataan yang dikutip media menyebutkan tidak adanya bioskop di Aceh tidak terlepas dari keberadaan Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh.

Namun anggota DPR Aceh dari Partai Aceh, Nur Zahri, mengatakan perda (qanun) syariat di setiap kota atau kabupaten di Aceh tidak ada yang membahas tentang keberadaan bioskop.

"Di seluruh kabupaten/kota (di Aceh), tidak ada peraturan yang mengatur tentang pelarangan bioskop," kata Nur Zahri saat dihubungi melalui telepon, Rabu (21/03).

Hak atas foto Chaideer Mahyuddin/AFP Image caption Di sebuah masjid di Banda Aceh, warga kota itu tengah mengaji, 4 Juni 2017.

Perda Syariat Islam, menurutnya, hanya mengatur secara umum dan "tidak secara langsung" mengatur tentang bioskop.

Seperti diketahui, Perda Syariat Islam - yang mulai dirancang pada 2002 - isinya antara lain mengatur tentang khalwat (mesum), khamr (alkohol) dan maisr (perjudian).

Menurut Nur Zahri, apabila nantinya dibuat peraturan tentang perizinan pendirian bioskop, Nur Zahri meminta persyaratan itu berdasarkan prinsip-prinsip Syariat Islam seperti diatur dalam Qanun.

"Misalkan pembagian tempat duduk, tidak boleh berpasang-pasangan. Kemudian ada pola pengawasan seperti adanya CCTV sehingga bisa terkontrol bagaimana perilaku penonton di dalam bioskop," kata Nur Zahri.

'Kita fokus nonton, bukan untuk mesum'

Demikian pula tentang materi filmnya yang sudah melalui Lembaga Sensor Film di tingkat pusat "perlu diperkuat di Aceh", kata Nur Zahri.

"Misalnya dengan penguatan fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang dilibatkan sehingga dapat memberikan kepastian bagi pemerhati Syariat Islam bahwa konten yang diputar tidak melanggar syariat," jelasnya.

Hak atas foto Chaideer Mahyuddin/AFP Image caption Hukuman cambuk terhadap seorang perempuan dewasa di Banda Aceh, 26 Februari 2017.

Sebagian warga Banda Aceh mengaku tidak keberatan apabila persyaratan pendirian bioskop seperti yang diutarakan Nur Zahri itu diberlakukan.

Florensa Faurora, yang berusia 27 tahun, dan pengusaha kedai kopi menepis ketakutan bahwa bioskop akan dijadikan tempat mesum.

"Kalau dianggap melanggar syariah, bikin saja bioskop yang sesuai syariat," kata Florensa. Dia juga mengingatkan keberadaan bioskop akan menambah pemasukan bagi APBD Banda Aceh.

Dengarkan pula tanggapan Atika Yelvi, 23 tahun, mahasiswa Fisip, Universitas Syiah Kuala, yang menepis kekhawatiran praktik mesum di dalam bioskop. "Kita tahu, bioskop untuk menonton, otomatis kita fokus untuk nonton. Enggak ada waktu untuk hal-hal seperti itu."

Ayi Imanullah, 22 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum syariah, UIN Ar-Raniry, mengatakan dirinya tidak memasalahkan apabila tempat duduk perempuan dan pria dipisahkan di dalam bioskop. "Sehingga yang mendekati mesum bisa dihindari".

Aturan main yang jelas

Sementara, pegiat film mengatakan tidak memasalahkan apabila keberadaan bioskop itu harus memenuhi persyaratan syariat Islam.

"Ruang bioskop itu harus dibentuk dengan ala Aceh," kata Azhari (Ayi Meugiet), salah seorang penggiat Aceh Documentary.

Hak atas foto Chaideer Mahyuddin/AFP Image caption Aksi menolak perayaan Valentine Day di pusat kota Banda Aceh, 14 Februari 2018.

Artinya, harus ada badan kurator dan lembaga sensor film (LSF) di Aceh.

Azhari juga menyarankan agar aturan main tentang bioskop itu menyertakan ulama. "Dan film harus ditonton para ulama, agar mereka tahu ada perubahan di masyarakat yang terjadi dan bagaimana ditinjau dari perspektif fiqh".

"Jadi, film itu bukan sesuatu yang dekat dengan maksiat. Film itu kehidupan kita yang harus ditonton sepanjang masa," Azhari menekankan.

Dia juga mengingatkan pemerintah provinsi Aceh untuk membuat aturan mainnya sebelum mengundang investor bioskop.

"Dibuat dulu aturannya, biar nanti tidak susah mekanismenya," tegasnya. Dia meyakini investor bioskop belum tertarik masuk ke Aceh karena tidak adanya aturan main yang jelas.

Sosialisasi ke investor

Saran serupa juga diutarakan politikus Partai Aceh, Nur Zahri, yang mengatakan pemkot Banda Aceh dan kota-kota lainnya di Aceh harus mampu mensosialisasikan aturan perihal bioskop kepada para investor dan masyarakat.

Hak atas foto Aceh Documentary Image caption Penonton memadati pemutaran film di acara Aceh Film Festival 2017 yang digelar 2017 lalu di kota Banda Aceh.

"Karena ketidaktahuan ini, membuat mereka skeptis. Misalnya soal keamanan, apakah ada jaminan atau tidak (saat bioskop berdiri di Aceh)," katanya.

Pemerintah kota Banda Aceh dan kota-kota lainnya juga diminta melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan tentang pendirian bioskop.

"Kalau mereka tidak dilibatkan dalam diskusi, dan dibiarkan pemahamannya menjadi liar dan tidak terarah, sikap skeptis karena dugaan-dugaan itu tadi akan terus ada," tandas Nur Zahri.

Pertanyaannya kemudian, apakah Pemerintah Kota Banda Aceh sudah melangkah lebih jauh tentang ide pendirian bioskop? Dan apakah mereka sudah melakukan sosialisasi?

"Sementara belum," kata Kepala humas pemerintah kota Banda Aceh, Taufik Mauliansyah kepada BBC Indonesia, Rabu (21/03) saat ditanya apakah pemkot Banda Aceh telah melakukan komunikasi dengan kalangan ulama.

'Pendirian bioskop belum prioritas'

Pihaknya baru akan konsultasi dengan ulama apabila ada yang mengajukan izin pendirian bioskop di Banda Aceh. Sejauh ini, menurutnya, belum ada pihak swasta yang mengajukan untuk pendirian bioskop di kota itu.

"Kalaupun nanti ada pihak swasta yang berinvestasi di bioskop, tentunya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dan ketika syarat itu sudah dipenuhi, ada tim yang mendiskusikan apakah izin itu sudah atau belum bisa dikeluarkan di Banda Aceh," jelasnya.

Hak atas foto Chaideer Mahyuddin/AFP Image caption Suasana di pelataran depan masjid Baiturrahman di tengah kota Banda Aceh, 18 Juni 2017.

Ditanya apa syarat-syarat yang harus dipenuhi, Taufik mengatakan "saya tidak tahu mendetil syarat-syaratnya". Hanya saja dia mengatakan setiap bidang usaha "berbeda syaratnya".

Taufik melanjutkan: "Kebetulan di kita (pemkot Banda Aceh) jenis usaha bioskop karena belum ada, ya mungkin akan kita rumuskan bilamana nanti ada yang ingin berinvestasi terkait usaha bioskop."

Apakah nanti akan berbentuk peraturan wali kota atau qanun (perda), Taufik berjanji untuk mendiskusikan dengan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan satu pintu tentang persyaratan yang dibutuhkan untuk pendirian bioskop.

Tetapi diakuinya saat ini pembahasan tentang pendirian bioskop di Aceh belum menjadi prioritas pemerintah kota Banda Aceh. "Belum kita tekankan, belum prioritas," tandas Taufik.

Kenyataan ini agaknya membuat pendirian bioskop di kota Banda Aceh masih menjadi impian bagian sebagian warganya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.