Pengeras suara masjid jadi polemik, pemerintah 'tak bisa intervensi'
Kementerian Agama (Kemenag) memiliki regulasi yang mengatur penggunaan pengeras suara untuk keperluan ibadah di masjid.
Namun aturan itu berisi imbauan tanpa sanksi.
Di sisi lain, penggunaan pengeras suara oleh masjid beberapa kali memicu perdebatan, termasuk antara Persatuan Gereja-gereja Jayapura (PGGJ) dan Majelis Ulama Indonesia cabang Papua.
"Pemerintah pusat dan daerah tidak bisa mengatur masjid secara ketat. Itu kembali ke pengelola masjid untuk bertoleransi dengan kondisi di sekitarnya," kata Juru Bicara Kemenag, Mastuki, Selasa (20/03).
Aturan penggunaan pengeras suara oleh masjid tertuang dalam Instruksi Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag nomor KEP/D/101/1978.
Regulasi itu memuat lima poin, antara lain pengeras suara digunakan oleh imam atau pembaca Alquran yang fasih bersuara merdu.
Selain itu, pengguna pengeras suara diminta tidak meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Merujuk kaidah agama, instruksi itu menyebut hanya suara azan yang memang harus ditinggikan.
Mastuki mengatakan mayoritas masjid di Indonesia didirikan dan dikelola oleh masyarakat secara swadaya. Pemerintah, kata dia, hanya berwenang mengatur masjid raya.
"Yang bisa mengontrol adalah masyarakat sendiri, ini bagian dari hubungan antarumat beragama," ujarnya.
Hak atas foto AFP Image caption Warga Papua memeluk beragam agama dan kepercayaan. Mereka disebut memiliki tradisi hidup berdampingan tanpa konflik sejak puluhan tahun lalu.Persoalan pengeras suara ini, menurut Mastuki, tak akan terjadi jika pengelola masjid bijak. Penyebabnya, kata dia, pengeras saura itu menjadi pro dan kontra di antara umat Islam, apalagi di luar komunitas Muslim, seperti Papua.
"Di Papua, banyak umat Kristen di sekitar masjid. Ketika mendirikan umat ibadah, selain menaati aturan yang ada, harus lihat juga konteks sosial di daerah masjid itu berada."
"Ada hukum adat atau hukum tak tertulis yang mengharuskan pengelola masjid arif dan bijaksana," kata Mastuki.
Sebelum PGGJ mempersoalkan pengeras suara sejumlah masjid di Jayapura, Dewan Masjid Indonesia beberapa kali mendorong pengaturan teknologi itu secara detail.
Permintaan itu diutarakan Boediono saat menjabat wakil presiden tahun 2012 dan Jusuf Kalla yang menduduki jabatan serupa pada 2015.
Bagaimana pendapat warga Papua?Willem, warga Distrik Abepura di Kota Jayapura, mengatakan kerukunanan hidup beragama di daerah sekitar rumahnya berjalan baik. Masalah mengenai suara azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara baru muncul sejak Masjid Al-Aqsa direnovasi dengan mendirikan menara tinggi.
"Kalau dilihat, jarak gereja dan masjid sangat dekat. Begitu juga dengan rumah-rumah warga, di samping. Jadi, kalau jadwal ibadah di rumah warga yang dekat dengan masjid, kita selalu tunggu mereka selesai azan baru kita masuk untuk ibadah," ujar Willem yang beragam Kristen.
Meski demikian, menurutnya, warga sekitar tidak pernah menegur pengurus masjid.
"Pendeta melarang kami untuk menegur mereka. Kalaupun mereka ribut dengan suara toa yang nyaring, pendeta selalu bilang bahwa kita harus mendoakan mereka," ucapnya.
Dia menghendaki agar pengurus masjid memakai pengeras suara yang diarahkan ke dalam masjid, alih-alih ke luar.
"Menurut saya, mereka di dalam ruangan saja, seperti gereja-gereja lain juga kalau beribadah hanya mereka (yang di dalam) saja yang dengar. Jadi tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah," tutur pria asal Teluk Wondama itu.
Keberatan warga Kristen mengenai suara azan yang dikuatkan oleh perangkat elektronik ditanggapi Tina, seorang muslimah Papua yang bermukim di Jayapura.
Menurutnya, protes sebagian warga soal suara azan adalah bagian dari aspirasi dan masih bisa dibicarakan baik-baik.
"Jadi, kalaupun ada yang merasa keberatan dengan suara azan yang berlebihan, saya kira di Papua sendiri ada forum kerukunan beragama jadi bisa disampaikan ke forum kerukunan beragama," ujarnya.
Dia mengatakan keberatan terhadap azan yang memakai pengeras suara tidak pernah terjadi di masa lalu.
"Kalau dulu, mungkin tidak ada yang keberatan dengan suara azan yang besar, karena di Papua ini kerukunan beragama sudah sangat luar biasa," kata Tina. "Kalaupun hari ini terjadi protes-protes tentang perbedaan-perbedaan yang terjadi, misalnya azan, saya kira ini terjadi karena ada perubahan kultur di Papua terkait banyaknya pendatang-pendatang yang datang ke Papua, mungkin ada nilai-nilai yang sedikit bergeser," sambungnya.
Harus segera ditengahiPegiat hak asasi manusia di Papua, Yan Christian Warinussy, mendorong pemerintah daerah harus segera menengahi perbedaan pendapat antara PGGJ dan MUI. Ia khawatir persoalan pengeras suara itu membesar.
"Harus dicari jalan keluarnya melalui dialog," ujarnya melalui sambungan telepon.
Yan berharap persoalan pengeras suara itu tidak menghambat umat Muslim di Jayapura menjalankan ibadah. Apalagi, kata dia, warga Papua sejak lama telah terbiasa mendengarkan azan magrib.
"Tanah ini tanah adat Papua, bukan tanah agama a atau b. Semua orang bisa beribadah," tuturnya.
Hak atas foto Getty Images Image caption Merujuk sensus penduduk tahun 2010, Islam adalah agama terbanyak ketiga yang dipeluk warga Papua.Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah warga yang memeluk Islam di Jayapura mencapai 29.118 orang. Di seluruh Papua, komunitas Islam terdiri dari 450.096 jiwa.
Adapun, umat Kristen di Papua berjumlah 1,8 juta jiwa. Sementara itu, pemeluk Katolik mencapai 500.000 orang, Hindu 2.420 orang, dan Buddha 1.452 orang.
Yan mengatakan, di Papua terdapat pula pemeluk aliran kepercayaan hingga sekte atau denominasi dari agama-agama besar, salah satunya Ahmadiyah.
"Di Papua tidak hanya satu agama saja. Saya Kristen tapi adik saya Islam, keluarga saya di Teluk Bintuni dan Fakfak dari dulu menganut Islam. Ada juga yang Katolik."
"Itu menurut saya mencerminkan kebhinekaan di tanah Papua," kata Yan.
Sebelumnya, Ketua Umum PGGJ, Pendeta Robbi Depondoye, menyebut dialaog antara pihaknya dan MUI telah berlangsung dan turut disaksikan perwakilan pemerintah lokal.
Robbi tetap pada permintaan lembaganya, bahwa suara azan melalui pengeras suara sebaiknya diarahkan ke dalam masjid.
Namun Ketua MUI Papua, Saiful Islam Al Payage, menolak permintaan tersebut. "Itu terlalu jauh, permintaan yang tak mungkin dipenuhi."
Meski begitu, Saiful berkomitmen tak ingin memperlebar persoalan tersebut.
"Kami saling menghargai dan menghormati, dan membangun tanah Papua yang damai," kata Payage.
Post a Comment