Aceh Besar, Jawa Barat, hingga Bima: Valentine terlarang untuk pelajar
Lebih dari lima pemerintah daerah sejak awal Februari lalu menerbitkan surat edaran yang melarang masyarakat, terutama pelajar, merayakan hari kasih sayang atau Hari Valentine.
Beberapa larangan perayaan Valentine itu memuat sanksi sekaligus legitimasi bagi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan polisi syariah untuk menindak para pelanggar, hal yang dianggap salah sasaran oleh sejumlah kalangan.
"Urusan privat sering dibawa ke ranah publik. Repot sekali negara mengurusi hal ini. Selain bukan urusan pemerintah, ini juga kontraproduktif," kata Retno Listyarti, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia, kepada BBC Indonesia, Selasa (13/02).
Larangan merayakan hari kasih sayang tahun 2018 diterbitkan antara lain oleh Dinas Pendidikan Jawa Barat, Kota Depok, Bondowoso, dan Blitar. Di Jawa Barat, larangan itu berlaku untuk 27 kabupaten dan kota.
Sementara larangan perayaan Hari Valentine di Aceh Besar, Mataram, dan Bima diteken kepala daerah. Secara khusus, kebijakan Bupati Aceh Besar Mawardi Ali ditentang Gubernur Aceh, Irwandi.
"Sebetulnya perayaan (boleh saja), asal jangan berlebihan, itu hukumnya mubah (boleh) asal jangan timbul ekstravaganzanya," kata Irwandi kepada pers di Jakarta, Selasa siang.
Sebelumnya, Mawardi Ali mengirim larangan Valentine kepada setiap kepala sekolah dan pengelola restoran serta hotel di Aceh Besar. Ia mengatakan hari kasih sayang tidak sesuai dengan budaya Aceh dan syariat Islam.
'Menjaga iman'Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Wali Kota dan Bupati Bima memerintahkan setiap lurah dan camat di wilayah mereka untuk menyiapkan khotbah keagamaan tentang larangan Valentine.
Sementara Wali Kota Mataram, Ahyar Abduh, mengancam pelajar dan pegawai negeri yang merayakan Valentine dengan sanksi sosial pada upacara bendera atau apel pagi.
Hak atas foto DETIKCOM Image caption Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, menyebut masyarakat harus selalu diingatkan untuk tidak merayakan hari kasih sayang.Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, menganggap wajar larangan perayaan Valentine yang muncul setiap tahun. Menurutnya, pemuka agama dan pemerintah wajib mengingatkan masyarakat, terutama umat Islam.
"Dengan ada yang mengingatkan, kita memperbarui keimanan dan pandangan agar tetap di garis yang lurus yang diajarkan agama dan budaya kita," ujar Anwar kepada BBC Indonesia.
Anwar menuturkan, imbauan MUI soal tidak merayakan hari kasih sayang itu tidak dituangkan dalam fatwa haram. Ia menjelaskan berpelukan dan berciuman yang kerap muncul dalam perayaan Valentine itu melanggar dasar ajaran Islam.
"Umat sudah tahu itu tidak sesuai agama, berciuman dan berpelukan dengan lawan jenis tidak boleh, jadi tidak perlu difatwakan. Cuma umat perlu diingatkan," kata dia.
Hak atas foto AFP Image caption Selain larangan pemerintah, sejumlah organisasi juga mengkampanyekan anti-hari kasih sayang, seperti yang muncul di Surabaya pada Februari 2017.Alam, siswa di sebuah SMA di Depok, Jawa Barat, menyebut sekolahnya telah mensosialisasikan larangan merayakan Valentine melalui grup aplikasi pesan singkat.
Enggan dijatuhi sanksi, Alam mengaku tidak akan memberikan cokelat atau ekspresi khas Valentine lainnya dengan kawan satu sekolahnya.
Meski demikian, Alam menyebut nilai dasar kasih sayang pada hari Valentine bersifat universal. Ia berencana merayakan Valentine bersama keluarganya.
"Lebih baik pemerintah memberitahu masyarakat, Valentine bukan cuma satu hari. Kasih sayang itu setiap hari, tidak ada putusnya," ucapnya.
Sementara itu, Tyas, pemudi berusia 24 tahun di Jakarta, menilai Valentine adalah momentum universal yang tidak sepatutnya dilarang negara.
"Tidak ada agama yang melarang mengucapkan selamat hari kasih sayang," kata dia.
'Larangan sia-sia'Retno Listyarti mengatakan, ekses perayaan Valentine berupa perbuatan asusila di kalangan pelajar sepatutnya dicegah orang tua, bukan pemerintah.
Lagi pula, kata dia, pemerintah tidak dapat mengawasi setiap perbuatan masyarakat, terutama yang berada di ruang privat.
Hak atas foto DETIKCOM Image caption Pengamat pendidikan sekaligus anggota KPAI, Retno Listyarti, menyebut ekses valentine yang ditakutkan pemerintah sepatutnya diserahkan kepada orang tua atau wali para pelajar."Sepanjang tidak melanggar norma, biarkan saja, itu kan dunia remaja. Yang penting ada kontrol dari orang tua," tuturnya.
Retno mengatakan, dibandingkan sibuk mengurus Valentine, pemerintah seharusnya fokus pada hak pendidikan dan hak siswa untuk terbebas dari kekerasan fisik dan seksual di sekolah.
"Negara kan selama ini gagal melindungi anak di sekolah. Lebih baik memikirkan perlindungan hak anak itu. Perayaan Valentine tidak esensial," ucapnya.
Post a Comment