Puisi Sukmawati: Soal konde, kebaya, dan cadar, antara tren, tradisi dan identitas

Puisi Sukmawati: Soal konde, kebaya, dan cadar, antara tren, tradisi dan identitas
Puisi Sukmawati: Soal konde, kebaya, dan cadar, antara tren, tradisi dan identitas
Model memakai kebaya encim pada Jakarta Fashion Week 2010 Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images

Puisi Sukmawati, yang kemudian menjadi kontroversi sampai membuatnya meminta maaf karena dianggap menyinggung umat Islam, mempertentangkan konde dengan cadar. Namun menurut sejarawan, yang terjadi bukanlah pertentangan, tapi justru memperlihatkan bagaimana pakaian menjadi cara menunjukkan identitas.

Dalam materi puisi "Ibu Indonesia" yang dibacakan oleh Sukmawati Soekarnoputri, dia dianggap mempertentangkan konde dengan cadar.

Sosok Ibu Indonesia dalam puisi tersebut digambarkan sebagai seorang perempuan yang mengenakan konde, dengan tekukan rambut, dan gemulai gerak tari.

Puisi itu dibacakan dalam peragaan busana perancang Anne Avantie, yang terkenal dengan kebaya-kebayanya, sebagai rangkaian Jakarta Fashion Week 2018.

Lies Marcoes, pendiri Yayasan Rumah Kita Bersama, menilai bahwa puisi adalah pengalaman batin yang tidak bisa diukur. Tapi, benarkah konde dan kebaya sudah 'tergantikan' oleh cadar?

Puisi Ibu Indonesia: Sukmawati Soekarnoputri 'mohon maaf lahir batin' kepada umat Islam Ketua MUI soal puisi Sukmawati: Tak perlu diteruskan dan membuang energi

Bagi sejarawan Anhar Gonggong, kebaya, jilbab, cadar, atau jenis pakaian lain adalah ekspresi identitas diri anak muda pada masa tersebut. Dan semuanya adalah penanda masa yang memang saling menggantikan sejak lama.

Sejarawan Anhar Gonggong menilai bahwa kebaya mulai menjadi tren di kalangan perempuan Jawa sejak tahun 1920-an.

"Dari tren, kebaya kemudian menjadi tradisi yang dimulai dari Jawa," kata Anhar.

Sementara itu di tempat-tempat lain di Indonesia, perempuan punya beraneka macam model pakaian. Seperti misalnya di Sumatera Barat, perempuan tak mengenakan kebaya, tapi baju kurung.

"Untuk orang Bugis di Sulawesi Selatan, tahun 1950-an barulah kebaya menjadi model," kata Anhar.

Sejarah kebaya

Sedangkan, menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa, Jaringan Asia, munculnya kebaya sebagai pakaian perempuan pasti terjadi secara lambat laun pada Abad 15 dan 16.

Sebelumnya, sesuai dengan relief yang ditemukan, para perempuan dan laki-laki hanya mengenakan kain yang dilipat (selubung).

Munculnya kebaya adalah transformasi sosial-budaya besar-besaran pada zaman itu yang menandai bangkitnya masyarakat perkotaan.

Untuk asal kata kebaya, Lombard merujuk pada Kamus Hobson-Jobson yang menyebut bahwa kebaya berasal dari bahasa arab "kabd" yang artinya pakaian.

Hak atas foto Ulet Ifansasti/Getty Images Image caption Seorang model memperagakan rancangan Anne Avantie pada acara Indonesia Fashion Week 2010.

Tetapi, semakin lama, pemakaian kebaya mulai ditinggalkan.

"Tahun 1960-an, gaya you can see itu yang tren," kata Anhar Gonggong.

Hari Batik Nasional: Benarkah batik Jawa tetap yang paling asli? Pengusaha Singapura sukses berdagang bolu batik khas Indonesia, adakah pelanggaran hak cipta?

Anak-anak muda tahun 60-an, menurut Firman Lubis dalam buku Jakarta 1960-an, menunjukkan identitas dengan cara menghindari memakai celana jins.

Sebab, mereka yang memakai celana jins bisa dianggap antek nekolim dan kontrarevolusioner.

Firman Lubis menulis bahwa pada masa itu kebaya tidak dipakai sebagai pakaian sehari-hari oleh anak-anak muda. Mahasiswi pada umumnya memakai rok, rata-rata setinggi lutut.

"Tidak ada teman mahasiswi yang memakai jilbab di tahun 1960-an. termasuk juga mahasiswi aktivis perkumpulan mahasiswa berbasis Islam, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)," demikian kesaksian Firman dalam bukunya.

Hak atas foto AFP Image caption Pasukan niqab yang berlatih memanah dan berkuda di Bekasi.

Bahkan, kata Firman, PMMI mempunyai barisan drumband putri dengan rok pendek dan sepatu lars.

Sementara itu, menurut Anhar Gonggong, kebaya yang semula adalah pakaian sehari-hari justru berubah menjadi pakaian nasional karena pengaruh perayaan Hari Kartini di seluruh Indonesia.

Kartini yang menjadi panutan, mengenakan kebaya, sehingga perempuan berlomba-lomba mengenakan kebaya.

"Kartini membuat kebaya jadi pakaian nasional. Ada anggapan bahwa kalau kita menghadiri acara-acara resmi, ya harus berkebaya," kata Anhar.

Kemunculan jilbab

Kemudian sejak tahun 1990-an, hijab mulai makin banyak dipakai. "Sebab dulu masa Menteri (Pendidikan) Daud Jusuf, anak-anak sekolah dilarang memakai hijab, sehingga trennya tidak berkembang sepesat saat ini," kata Anhar.

Pelajar perempuan sempat dilarang memakai hijab di sekolah melalui keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982.

SK ini kemudian dicabut pada akhir 1980-an, tapi masih ada banyak sekolah yang tak mengizinkan pemakaian hijab.

Hak atas foto EPA/BAGUS INDAHONO Image caption Seorang model memperagakan rancangan Leni Rafael pada acara Indonesia Fashion Week di Jakarta, 31 Maret 2018 lalu.

Pemakaian hijab terkait erat dengan cara anak-anak muda mengekspresikan identitas dirinya.

"Banyaknya pemakaian hijab saat ini adalah cara anak muda Islam sekarang menanggapi tantangan menurut mereka yang harus dijawab dengan berjilbab," kata Anhar.

Larangan memakai cadar di UIN: Antara kebebasan memilih dan ancaman radikalisme 'Pasukan Niqab' Indonesia berlatih menunggang kuda dan memanah

"Apalagi, mengenakan hijab adalah sesuatu yang dilakukan berdasarkan ajaran agama. Saat ini anak-anak muda Muslimah merasa harus menutup aurat," kata Anhar.

"Meskipun penafsiran mengenai menutup aurat pun berbeda-beda, ada yang merasa harus menutup muka dengan cadar, ada yang tidak."

Kebaya muncul lagi

Meski kini tak banyak lagi perempuan yang mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari, ada komunitas para pecinta kebaya yang konsisten berkebaya setiap hari.

"Kami ingin melestarikan dan mempromosikan budaya Indonesia, dan mengkampanyekan cinta budaya negeri sendiri," kata Lia Nathalia, penggagas komunitas Perempuan Berkebaya.

Komunitasnya beranggotakan ratusan orang dengan berbagai latar belakang dan profesi.

"Nenek moyang kita dulu setiap hari selalu berkebaya, ke sungai, ke laut, pergi berhaji naik kapal selama berbulan-bulan dengan kain dan kebaya. Mereka baik-baik saja, jadi saya harus bisa juga," kata Lia.

Terkadang, dia juga menggunakan konde untuk melengkapi penampilannya. Inspirasi mengenakan kebaya dan kain setiap hari didapatnya setelah mencoba menuruni Gunung Prau dengan kebaya.

Lia konsisten mengenakan kebaya sebagai pakaiannya setiap hari. Menurutnya, mengenakan kebaya dan berkain tidak menghalangi aktivitasnya.

"Saya naik kendaraan umum, naik gojek, naik motor trail dengan kebaya, tidak ada masalah," kata dia. Lia bahkan sudah menulis buku yang berisi pengalamannya melakukan perjalanan ke beberapa negara dengan mengenakan kebaya.

"Ada juga teman saya yang menulis buku tentang bagaimana dia berkeliling Indonesia dengan motor, dengan berjilbab dan berkebaya," kata Lia.

Dan jilbab juga tak menghalangi pemakaian kebaya karena banyak anggota komunitas itu yang berjilbab.

Komunitas ini juga mengkampanyekan cinta kebaya dan wastra Indonesia dengan pergi ke sekolah-sekolah, mulai dari TK sampai universitas.

"Yang paling penting, kita harus mencintai budaya kita dulu," kata dia.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.